Tholabul 'Ilm 'Ala Manhaj Salaf
Tafsir dan Hadits
Kamis, 05 Februari 2015
Renungan Di Pagi Hari Yang Indah
Renungan pagi
Oleh : Abu Samah Al Hafidz
Pada saat engkau mati, janganlah kau bersedih. Jangan pedulikan jasadmu yang sdh mulai layu, krn kaum muslimin akan mengurus jasadmu.
Mereka akan melucuti pakaianmu, memandikanmu dan mengkafanimu lalu membawamu ke tempatmu yang baru, kuburan.
Akan byk orang yg mengantarkan jenazahmu bahkan mereka akan meninggalkan pekerjaannya untuk ikut menguburkanmu. Dan mungkin banyak yg sdh tidak lagi memikirkan nasihatmu pada suatu hari.....
Barang barangmu akan dikemas; kunci kuncimu, kitab, koper, sepatu dan pakaianmu. Jika keluargamu setuju barang2 itu akan disedekahkan agar bermnfaat untukmu.
Yakinlah; dunia dan alam semesta tdk akan bersedih dg kepergianmu.
Ekonomi akan tetap berlangsung!
Posisi pekerjaanmu akan diisi orang lain.
Hartamu menjadi harta halal bagi ahli warismu. Sedangkan kamu yg akan dihisab dan diperhitungkan untuk yang kecil dan yang besar dari hartamu!
Kesedihan atasmu ada 3;
Orang yg mengenalmu sekilas akan mengatakan, kasihan.
Kawan2mu akan bersedih beberapa jam atau beberapa hari lalu mereka kembali seperti sediakala dan tertawa 2!
Di rumah ada kesedihan yg mendalam! Keluargamu akan bersedih seminggu dua minggu, sebulan dua bulan, dan mungkin hingga setahun??
Selanjutnya mereka meletakkanmu dalam arsip kenangan!
Demikianlah "Kisahmu telah berakhir di tengah2 manusia".
Dan kisahmu yang sesungguhnya baru dimulai, Akhirat!!
Telah musnah kemuliaan, harta, kesehatan, dan anak.
Telah engkau tinggalkan rumah, istana dan istri tercinta.
Kini hidup yg sesungguhnya telah dimulai.
Pertanyaannya adalah:
Apa persiapanmu untuk kuburmu dan Akhiratmu??
Hakikat ini memerlukan perenungan.
Usahakan dengan sungguh2;
Menjalankan kewajiban kewajiban,
hal-hal yg disunnahkan,
sedekah rahasia,
merahasiakan amal shalih,
shalat malam,
Semoga saja engkau selamat.
Andai engkau mengingatkan manusia dengan tulisan ini insyaAllah pengaruhnya akan engkau temui dalam timbangan kebaikanmu pada hari Kiamat. "Berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat. Wallahu'alam
"Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua"
Aamiin....
Minggu, 18 Januari 2015
Sutrah
Oleh : Abu Samah Al Hafidz
Jangan Engkau Shalat Kecuali Menghadap Sutrah atau Pembatas
Sutrah (pembatas) harus ada di hadapan orang yang
sedang shalat karena dengan shalatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan
memutus munajat tersebut serta mengganggu hubungan ia dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam shalatnya. Oleh sebab itu, siapa yang sengaja lewat di depan orang
shalat, ia telah melakukan dosa yang besar.
A.
Pengertian Sutrah
Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghalang, apa pun
bentuk/jenisnya. Sutrah orang yang shalat adalah apa yang ditancapkan dan
dipancangkan di hadapannya berupa tongkat atau yang lainnya ketika hendak
mendirikan shalat atau sesuatu yang sudah tegak dengan sendirinya yang sudah
ada di hadapannya, seperti dinding atau tiang, guna mencegah orang yang hendak
berlalu-lalang di depannya saat ia sedang shalat. Sutrah harus ada di hadapan
orang yang sedang shalat karena dengan shalatnya berarti ia sedang bermunajat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di
hadapannya akan memutus munajat tersebut serta mengganggu hubungan ia dengan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shalatnya. Oleh sebab itu, siapa yang sengaja
lewat di depan orang shalat, ia telah melakukan dosa yang besar. (Al-Mausu’atul
Fiqhiyah, 24/178, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939, Taudhihul Ahkam, 2/58).
B.
Hukum Sutrah
Hukum sutrah diperselisihkan oleh ahlul ilmi, antara
yang berpendapat wajib dengan yang berpendapat sunnah. Jumhur ulama berpendapat
hukumnya sunnah, sehingga berdasarkan pendapat ini bila ada yang lewat di
hadapan orang yang shalat sementara tidak ada sutrah di hadapannya tidaklah
membatalkan shalatnya, namun hanya mengurangi (nilai) shalatnya. Di samping
itu, sutrah merupakan penyempurna shalat yang dikerjakan, ia tidak masuk dalam
amalan shalat. Dengan begitu, hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang
mengeluarkan perkaranya dari wajib kepada mustahab. (Asy-Syarhul Mumti’1/728,
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939-940, Taudhihul Ahkam, 2/58).
Ø Pendapat jumhur ini berdalil dengan:
Hadits Abu Sa’id
Al-Khudri radhiyAllahu ‘anhu secara marfu’:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang
bisa menghalanginya dari manusia, lalu ada seseorang ingin lewat di hadapannya,
hendaknya ia menolak/mencegahnya. Bila orang yang hendak lewat itu enggan tetap
memaksa untuk lewat maka hendaknya ia memeranginya karena dia itu setan.” (HR.
Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)
Ucapan Rasulullah ShallAllahu
‘alaihi wa sallam: “Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu
yang bisa menghalanginya dari manusia,” menunjukkan bahwa orang yang shalat
bisa jadi di depannya ada sesuatu yang menghalanginya dan bisa pula tidak ada. Karena konteks seperti ini menunjukkan demikian, tidak semua orang
shalat menghadap sutrah.
Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu ‘anhuma:
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الْاِحتِلاَمَ وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بـِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتاَنَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فيِ الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
“Aku datang dengan menunggang keledai betina, saat itu aku
menjelang ihtilam (mimpi basah/baligh) sementara Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi
wa sallam sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di
hadapan beliau. Lalu aku lewat di hadapan sebagian shaf, setelahnya aku turun
dari keledai tersebut dan aku membiarkannya pergi merumput. Kemudian aku masuk
(bergabung) ke dalam shaf. Tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku
tersebut.” (HR. Al-Bukhari no 493 dan
Muslim no. 1124 namun tanpa lafadz:“Ila Ghairi Jidaarin”
Dari lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada
tembok/dinding di hadapan beliau) dipahami bahwa Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi
wa sallam shalat tanpa ada sutrah di hadapannya.
Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu
‘anhuma juga, ia berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa
sallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan
beliau.” (HR. Ahmad 1/224 dan Al-Baihaqi 2/273)
Ø Pendapat yang lain adalah sutrah hukumnya wajib.
Dalilnya antara lain sabda Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi
wa sallam:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
“Janganlah engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu
ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila
orang itu menolak (tetap ngotot ingin lewat, –pent.), perangilah karena
bersamanya ada qarin (setan).” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan berkata
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi ShallAllahu
‘alaihi wa sallam, 1/115: “Sanadnya jayyid.”)
Demikian pula perintah beliau
untuk menancapkan tombak sebagai sutrah untuk shalat yang ditunjukkan dalam
hadits Ibnu ‘Umar radhiyAllahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no.
494) dan Muslim (no. 1115) dalam Shahih keduanya. Dan inilah pendapat yang rajih dan menenangkan hati kami. WAllahu
a’lam bish-shawab.
Adapun dalil yang dipakai oleh jumhur dijawab sebagai
berikut:
@ Hadits Abu Sa’id radhiyAllahu
‘anhu yang menunjukkan bahwa seseorang yang shalat terkadang di hadapannya ada
sutrah dan terkadang tidak ada, hal ini terjawab dengan adanya hadits di atas
yang sharih (jelas) yang melarang shalat tanpa sutrah, dan juga perintah beliau
untuk menancapkan tombak sebagai sutrah.
@ Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu
‘anhuma:
وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِـمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ
“Sementara Rasulullah ShallAllahu
‘alaihi wa sallam sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada
tembok/dinding di hadapan beliau.” Tidaklah
menampik kemungkinan beliau shalat menghadap selain tembok/dinding. Ibnu
Daqiqil ‘Id tmenyatakan bahwa tidak adanya tembok/dinding bukan berarti
meniadakan sutrah. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, bab Al-Murur
baina Yadayil Mushalli, hadits no. 109)
Hadits ini diberi judul oleh
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dengan Bab: Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum/orang
yang shalat di belakangnya. Dengan demikian, berarti
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu tidak memahami tidak adanya sutrah dari hadits
ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menjelaskan, “Seakan-akan
Al-Bukhari membawa perkara ini pada kebiasaan yang ma’ruf dilakukan oleh
Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, yaitu tidaklah beliau melakukan
shalat di tanah lapang melainkan sebuah tombak ada di hadapan beliau (sebagai
sutrahnya).” (Fathul Bari, 1/739)
Di samping itu, ada perselisihan
para rawi yang membawa riwayat dari Al-Imam Malik rahimahullahu pada lafad إِلَى جِدَارغَيْرِ (tanpa ada tembok/dinding di
hadapan beliau). Ada di antara mereka yang menyebutkannya dan ada yang
tidak. Dan ternyata rawi yang tidak menyebutkan lafadz ini lebih banyak
jumlahnya dan lebih tinggi kedudukannya dibanding rawi yang
menyebutkannya.
Karena itulah kebanyakan penyusun
kitab hadits shahih seperti Al-Imam Muslim, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, dan selainnya, tidak membawakan lafadz ini. Bahkan Ibnu Khuzaimah
rahimahullahu dalam Shahih-nya mengisyaratkan tidak tsabit (shahih)nya lafadz
ini dengan adanya kepastian bahwa Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam
shalat bersutrah dengan tombak. (Adh-Dha’ifah
oleh Al-Imam Al-Albani, pembicaraan pada hadits 5814)
@ Sedangkan hadits:
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang
sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.”
adalah hadits yang lemah karena dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Arthah,
seorang rawi yang lemah. Kata Al-Hafizh rahimahullahu dalam
Taqrib-nya hal.92, “Ia adalah rawi yang shaduq, namun banyak salahnya dan
melakukan tadlis.” (Adh-Dha’ifah no. 5814)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
ketika membantah ucapan Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya berkata, “Pendapat
yang mengatakan sutrah itu mustahab menentang nash yang berisi perintah shalat
di hadapan sutrah yang disebutkan dalam sejumlah hadits, salah satunya bahkan
dibawakan oleh penulis (Sayyid Sabiq). Pada
sebagian hadits tersebut ada larangan mengerjakan shalat bila di depan seorang
yang shalat tidak ada sutrah. Ibnu Khuzaimah menjadikan hadits ini sebagai
judul bab dalam kitab Shahih-nya. Beliau dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari
Ibnu ‘Umar radhiyAllahu ‘anhuma secara marfu’:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ …
“Jangan engkau shalat kecuali menghadap sutrah….”
Beliau rahimahullahu juga berkata,
“Termasuk perkara yang menguatkan kewajiban sutrah, adanya sutrah di hadapan
orang yang shalat merupakan sebab syar’i tidak batalnya shalat orang tersebut
dengan lewatnya wanita yang sudah baligh, keledai, dan anjing hitam di hadapan
sutrahnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih. Juga dengan adanya sutrah, orang yang shalat tersebut berhak
menahan orang yang ingin lewat di hadapannya. Demikian pula hukum-hukum lain
yang berkaitan dengan sutrah. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Nailul
Authar (3/2) dan As-Sailul Jarar (1/176) memegang pendapat yang mewajibkan
sutrah ini. Dan pendapat ini merupakan dzahir ucapan Ibnu Hazm rahimahullahu
dalam Al-Muhalla (4/8-15).” (Tamamul Minnah, hal. 300).
C.
Mendekat kepada Sutrah
Orang yang meletakkan sutrah atau menjadikan sesuatu yang
ada di hadapannya sebagai sutrah, harus mendekat dengan sutrahnya tersebut agar
setan tidak mengganggu shalatnya. Sebagaimana
hal ini diperintahkan Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ
“Apabila salah seorang dari
kalian shalat menghadap sutrahnya (yang ada di hadapannya), hendaklah ia
mendekat ke sutrah tersebut agar setan tidak memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud
no. 695, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Yang dimaksud dengan “agar setan tidak memutus shalatnya” adalah
agar setan tidak meluputkan konsentrasinya dengan mendatangkan was-was dan
menguasainya dalam shalatnya.
Kata Asy-Syaikh ‘Ali Al-Qari , “Diambil faedah dari hadits ini
bahwa sutrah dapat mencegah berkuasanya setan terhadap seseorang yang sedang
shalat dengan memasukkan was-was ke dalam hatinya. Bisa jadi seluruh shalatnya
dikuasai oleh setan, bisa pula sebagian shalatnya. Semuanya tergantung
kejujuran orang yang shalat tersebut serta bagaimana penghadapan hatinya kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shalatnya. Sementara, tidak memakai sutrah akan
memungkinkan setan untuk menghilangkan apa yang sedang dihadapinya berupa
perasaan khusyuk, tunduk, tadabbur Al-Qur`an, dan dzikir.” (Ashlu Shifah
Shalatin Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, 1/115)
Sahl bin Sa’d As-Sa’idi
radhiyAllahu ‘anhu berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ
“Jarak antara tempat berdirinya
Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam dalam shalatnya3 dengan tembok/dinding
adalah sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR.
Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini
menunjukkan bahwa merupakan perkara sunnah seorang yang shalat mendekat dengan
sutrahnya.” (Al-Minhaj, 4/449)
Salamah ibnul Akwa’ radhiyAllahu
‘anhu menyebutkan:
كَانَ جِدَارُ الْـمَسْجِدِ عِنْدَ الْـمِنْبَر، مَا كَادَتِ الشَّاةُ تَجُوْزُهَا
“Dinding masjid Rasulullah di sisi
mimbar, hampir-hampir seekor kambing tidak dapat melewatinya.” (HR. Al-Bukhari no. 497)
Maksudnya, jarak antara mimbar dengan dinding masjid dekat,
sementara ketika shalat Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam berdiri di
samping mimbar, karena tidak ada mihrab dalam masjid beliau. Sehingga, jarak
antara beliau dengan dinding sama dengan jarak antara mimbar dengan dinding,
yaitu sekadar hanya bisa dilewati seekor kambing.
Ibnu Baththal rahimahullahu berkata, “Ini jarak minimal
seseorang yang shalat dengan sutrahnya, yaitu sekadar bisa dilewati seekor
kambing.” Ada yang mengatakan jaraknya tiga hasta dan ini pendapat kebanyakan
ahlul ‘ilmi. (Raddul Mukhtar Hasyiyatu Ibnu ‘Abidin 2/402, Al-Mughni Kitabus
Shalah, fashl Dunu minas Sutrah, Al-Hawil Kabir 2/209, Al-Majmu` 3/226)
Dalilnya adalah hadits Bilal radhiyAllahu ‘anhu:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْكَعْبَةِ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ ثَلاَثَةُ أَذْرُعٍ
“Sesungguhnya Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam shalat di Ka’bah,
jarak antara beliau dan dinding sejauh tiga hasta.” (Al-Imam Ibnu Abdil Barr
rahimahullahu berkata: “Hadits ini diriwayatkan Ibnul Qasim dan Jama’ah dari
Malik, dan sanad hadits ini lebih shahih4 dari sanad hadits Sahl ibnu Sa’d.”
Lihat At-Tamhid 5/37, 38 dan Al-Istidzkar 6/171)
Ad-Dawudi ketika mengompromikan pendapat yang ada menyatakan bahwa
yang paling minim adalah sekadar lewatnya seekor kambing dan maksimalnya tiga
hasta. Sebagian ulama yang lain juga mengompromikan dengan menyatakan bahwa
jarak yang awal adalah pada keadaan berdiri dan duduk, sedangkan jarak yang
kedua pada keadaan ruku’ dan sujud. (Fathul Bari, 1/743, Adz-Dzakhirah,
2/157-158)
Al-Baghawi rahimahullahu berkata,
“Ahlul ilmi menganggap mustahab untuk mendekat kepada sutrah, di mana jarak
antara orang yang shalat dengan sutrahnya sekadar memungkinkan untuk sujud. Demikian
pula jarak antar shaf.” (Syarhus Sunnah, 2/447)
Faedah
Al-Imam Malik rahimahullahu
berkata, “Apabila seseorang masbuq dalam shalatnya, sementara tiang masjid ada
di sebelah kanan atau kirinya, maka boleh dia bergeser ke kanan atau ke kiri
mengarah ke tiang itu untuk dijadikan sutrah, jika memang tiang itu dekat
dengannya. Begitu pula jika tiang itu ada di depannya atau di
belakangnya, dia boleh maju atau mundur sedikit ke arah tiang tersebut selama
tidak jauh darinya. Adapun bila tiang itu jauh, maka dia tetap shalat di
tempatnya dan berusaha mencegah segala sesuatu yang lewat di hadapannya
semampunya.” (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202)
Bergeser seperti ini dengan mencari sesuatu yang menghalanginya
lebih ringan daripada mencegah orang yang lewat di hadapannya. (Adz-Dzakhirah,
2/156). WAllahu a’lam.
@ Di antara mereka juga terdapat silang pendapat dalam
batal atau tidaknya shalat seorang yang dilewati oleh wanita, keledai, dan
anjing hitam.
@ Dipahami dari hadits di atas
adalah bila seseorang shalat sementara di hadapannya ada sutrah namun jarak
antara dia dengan sutrahnya jauh, berarti dia memberi peluang kepada setan
untuk mengganggu shalatnya. Sehingga bagaimana
kiranya bila ada orang yang shalat sementara di hadapannya tidak ada sutrah?
Hadits ini bisa menjadi dalil tentang wajibnya sutrah.
@ Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menafsirkan mushalla
dalam hadits di atas dengan tempat sujud. (Al-Minhaj, 4/449)
@ Karena rangkaian sanadnya adalah dari Malik, dari
Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Bilal.
D. Sutrah dalam Shalat
ü Tiang masjid
Tiang yang ada di masjid dapat dijadikan sebagai sutrah
sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat berikut. Yazid bin Abi ‘Ubaid berkata,
“Adalah Salamah ibnul Akwa’ radhiyAllahu ‘anhu memilih shalat di sisi tiang
masjid tempat menyimpan mushaf. Maka aku tanyakan kepadanya, ‘Wahai Abu Muslim,
aku melihatmu menyengaja memilih shalat di sisi tiang ini.’ Beliau menjawab:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى الصَّلاَةَ عِنْدَهَا
“Aku melihat Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam memilih
shalat di sisinya.” (HR. Al-Bukhari no. 502 dan Muslim no. 1136)
ü Tongkat yang ditancapkan
Ibnu ‘Umar radhiyAllahu ‘anhuma memberitakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْـحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bila keluar ke tanah
lapang untuk mengerjakan shalat Id, beliau memerintahkan pelayannya untuk
membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian beliau shalat
menghadapnya sementara manusia menjadi makmum di belakang beliau. Dan beliau
juga melakukan hal tersebut dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan Muslim
no. 1115)
ü Hewan tunggangan
Ibnu Umar radhiyAllahu ‘anhuma
mengabarkan perbuatan Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam:
أَنَّهُ كَانَ يُعَرِّضُ رَاحِلَتَهُ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا
“Sesungguhnya Nabi ShallAllahu
‘alaihi wa sallam melintangkan hewan tunggangannya (antara beliau dengan
kiblat), lalu shalat menghadapnya.” (HR. Al-Bukhari no. 507 dan Muslim no.
1117)
ü Pohon
Sekali waktu Nabi ShallAllahu
‘alaihi wa sallam shalat menghadap sebuah pohon, sebagaimana ditunjukkan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad rahimahullahu (1/138) dari Ali bin Abi
Thalib radhiyAllahu ‘anhu, ia berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ، وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ، فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي إِلَى شَجَرَةٍ وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ
“Sungguh aku melihat kami pada
malam Badr, tidak ada seorang pun dari kami melainkan tertidur kecuali
Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, beliau sedang mengerjakan shalat
menghadap ke arah sebuah pohon sebagai sutrahnya dan berdoa hingga pagi hari.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata: “Sanadnya
shahih.” Lihat Ashlu
Shifah Shalatin Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, 1/120)
ü Dinding/tembok
Sebagaimana ditunjukkan dalam
hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyAllahu ‘anhu yang telah disebutkan ketika
membahas tentang mendekat dengan sutrah.
ü Tempat tidur
Beliau ShallAllahu ‘alaihi wa
sallam menjadikan tempat tidur sebagai sutrahnya sebagaimana berita dari istri
beliau, Aisyah radhiyAllahu ‘anha:
لَقَدْ رَأَيْتُنِي مُضْطَجِعَةً عَلَى السَّرِيْرِ فَيَجِيْءُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَتَوَسَّطُ السَّرِيْرَ فَيُصَلِّي
“Sungguh aku melihat diriku dalam
keadaan berbaring di atas tempat tidur lalu Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam
datang, beliau berdiri menghadap bagian tengah tempat tidur, kemudian shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 508 dan Muslim no. 1144)
Dalam lafadz lain, Aisyah radhiyAllahu ‘anha berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ
“Sungguh aku melihat Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam shalat
sementara aku berada di antara beliau dan kiblatnya dalam keadaan berbaring di
atas tempat tidur.” (HR. Al-Bukhari no. 511 dan Muslim no. 1143)
ü Benda yang tinggi
Boleh menjadikan sesuatu yang tinggi semisal
mu`khiratur rahl sebagai sutrah. Mu`khiratur rahl adalah kayu yang berada di
bagian belakang pelana hewan tunggangan yang dijadikan sebagai sandaran si
penunggang hewan tersebut. Tingginya sekitar 2/3 hasta. (Nailul Authar 3/4,
Taudhihul Ahkam, 2/64, Asy-Syarhul Mumti` 1/731)
Aisyah radhiyAllahu ‘anha berkata, “Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa
sallam pernah ditanya dalam Perang Tabuk tentang tinggi sutrah orang yang
shalat. Maka beliau menjawab:
مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
“Semisal mu’khiratur rahl.” (HR. Muslim no. 1113)
Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
“Apabila salah seorang dari kalian
meletakkan semisal mu`khiratur rahl di hadapannya maka silakan ia shalat dan
jangan memedulikan orang yang lewat di belakang sutrahnya tersebut.” (HR. Muslim no. 1111)
v Tidak Cukup dengan Garis
Adapun sekadar garis di depan orang yang shalat
tidaklah cukup sebagai sutrah. (Subulus Salam, 1/227)
Al-Qarafi rahimahullahu mengatakan, “Ini adalah pendapat jumhur
fuqaha.” (Adz-Dzakhirah, 2/154)
Walaupun ada sebagian ahlul ‘ilmi berpandangan garis dapat
dijadikan sebagai sutrah. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/255),
Abu Dawud (no. 689), dan Ibnu Hibban (no. 2369) dari Abu Hurairah radhiyAllahu
‘anhu:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَـمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَلْيَنْصَبْ عَصًا، فَإِنْ لـَمْ يَكُنْ مِنْ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا وَلاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia menjadikan
sesuatu di hadapannya (sebagai sutrah). Bila ia tidak mendapatkan sesuatu hendaklah
ia menancapkan tongkat. Bila tidak ada tongkat, hendaklah ia membuat sebuah
garis dan tidak memudaratkannya apa yang lewat di hadapannya.”
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Tamamul Minnah,
“Hadits ini sanadnya dhaif tidak shahih. Walaupun orang-orang yang disebutkan
oleh penulis Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq) menganggapnya shahih. Namun ulama
yang lebih banyak jumlahnya selain mereka telah mendhaifkan hadits ini dan
mereka lebih kuat argumennya. Terlebih lagi adanya perselisihan dalam riwayat
dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu tentang permasalahan ini.
Al-Hafizh rahimahullahu telah
menukilkan dalam At-Tahdzib dari Al-Imam Ahmad t, di mana disebutkan beliau
berkata, “Permasalahan garis yang digunakan sebagai sutrah, haditsnya
dhaif.”
Sementara dalam At-Talkhish,
Al-Hafizh rahimahullahu menyebutkan penshahihan Ahmad sebagaimana dinukilkan
oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullahu dalam Al-Istidzkar terhadap hadits di atas,
kemudian beliau (Al-Hafizh) berkata, “Sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi`i,
Al-Baghawi rahimahumullah dan selain mereka, telah mengisyaratkan kelemahan
hadits ini.”
Dalam At-Tahdzib juga disebutkan, “Ad-Daraquthni rahimahullahu
berkata, ‘Hadits ini tidak shahih, tidak tsabit.’ Asy-Syafi`i rahimahullahu
berkata dalam Sunan Harmalah, ‘Seseorang yang shalat tidak cukup membuat garis
di depannya untuk dijadikan sebagai sutrah kecuali bila di sana ada hadits yang
tsabit.’ Al-Imam Malik rahimahullahu berkata dalam Al-Mudawwanah, ‘Garis yang
digunakan sebagai sutrah adalah batil.’
Dari kalangan ulama muta’akhirin yang mendhaifkan hadits ini
adalah Ibnush Shalah, An-Nawawi, Al-’Iraqi, dan yang lainnya. Inilah pendapat
yang benar karena hadits ini memiliki dua illat (penyakit yang mencacati),
yaitu idhthirab dan jahalah, yang menghalanginya untuk dihukumi hasan, terlebih
lagi dihukumi shahih.” (Tamamul Minnah, hal. 300-301)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu
berdalil dengan hadits mu`khiratur rahl untuk menyatakan garis di depan orang
yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Al-Ikmal lil Qadhi Iyadh
2/414)
@ Faedah
Al-Qarafi rahimahullahu berkata
menukil dari penulis kitab An-Nawadir, “bahwa lubang dan sungai maupun segala
sesuatu yang tidak tertancap dengan tegak, seperti garis misalnya, bukanlah
termasuk sutrah.” (Adz-Dzakhirah, 2/155). Wallahu’alam.
Langganan:
Postingan (Atom)