Agar Buah Hati Menjadi Penyejuk Hati
Bismillaahirrahmaanirrahiimii
Assalamualaikum Warahmatullai Wabarkaatuh
#Oleh: Abu Samah Al-Hafidz
Kehadiran
sang buah hati dalam sebuah rumah tangga bisa diibaratkan seperti keberadaan
bintang di malam hari, yang merupakan hiasan bagi langit. Demikian pula arti
keberadaan seorang anak bagi pasutri, sebagai perhiasan dalam kehidupan dunia.
Ini berarti, kehidupan rumah tangga tanpa anak, akan terasa hampa dan suram.
Allah
berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ
ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً
“Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shaleh adalah
lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”
(QS al-Kahfi: 46).
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan
anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba
dalam kebinasaan. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ
مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS At Taghaabun:14).
Makna “menjadi musuh bagimu” adalah
melalaikan kamu dari melakuakan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam
perbuatan maksiat kepada Allah (Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/482).
Ketika menafsirkan ayat di atas, syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “…Karena
jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam
ayat ini) Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai)
kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak
mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…”(
Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal.
637).
Kewajiban mendidik anak
Agama Islam
sangat menekankan kewajiban mendidik anak dengan pendidikan yang bersumber dari
petunjuk Allah dan Rasul-Nya . Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib ketika
menafsirkan ayat di atas berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu
dan keluargamu”( Diriwayatkan
oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan
disepakati oleh adz-Dzahabi).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri (dari api neraka) adalah
dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan
dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan
anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada
mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah
Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika
dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya
sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”(
Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal.
640).
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah pernah melarang Hasan bin
‘Ali y memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan masih kecil,
Rasulullah bersabda: “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut,
kemudian beliau bersabda: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita
(Rasulullah dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”( HR
al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara
kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik
mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka
melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan
hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani
kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut(Fathul Baari (3/355).
Metode pendidikan anak yang benar
Agama Islam
yang sempurna telah mengajarkan adab-adab yang mulia untuk tujuan penjagaan
anak dari upaya setan yang ingin memalingkannya dari jalan yang lurus sejak dia
dilahirkan ke dunia ini.
Dalam
sebuah hadits qudsi Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku menciptakan
hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada
kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama
mereka (Islam)”( HR
Muslim (no. 2865).
Dalam
hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda: “Tangisan seorang bayi ketika
(baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan”(
HR Muslim (no. 2367).
Perhatikanlah hadits yang agung ini, bagaimana setan berupaya keras untuk
memalingkan manusia dari jalan Allah sejak mereka dilahirkan ke dunia, padahal
bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia dan
godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah
mengenal semua godaan tersebut?( Lihat kitab
“Ahkaamul mauluud fis sunnatil muthahharah” (hal. 23).
Maka di sini terlihat jelas fungsi utama syariat Islam dan sunnah Rasulullah
dalam menjaga anak yang baru lahir dari godaan setan, melalui adab-adab
yang diajarkan dalam sunnah Rasulullah yang berhubungan dengan kelahiran
seorang anak(Ibid (hal. 24).
Sebagai contoh misalnya, anjuran
Rasulullah bagi seorang suami yang akan mengumpuli istrinya, untuk
membaca doa:
بسم الله اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا
الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan (menyebut) nama Allah, ya
Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki (Termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab “Faidhul Qadiir”
(5/306). yang Engkau anugerahkan kepada kami”.
Rasulullah bersabda: “Jika
seorang suami yang ingin mengumpuli istrinya membaca doa tersebut, kemudian
Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan
bisa mencelakakan anak tersebut selamanya” (HR
al-Bukhari (no. 6025) dan Muslim (no. 1434).
Berdasarkan
keterangan di atas, jelaslah bahwa syariat Islam merupakan satu-satunya metode
yang benar dalam pendidikan anak, yang ini berarti bahwa hanya dengan
menerapkan syariat Islamlah pendidikan dan pembinaan anak akan membuahkan hasil
yang baik.
Syaikh
Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “Yang menentukan (keberhasilan)
pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah , dan
jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode
(pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan
urusannya (dalam mendidik anak), Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ
مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
“Barangsiapa yang bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya”
(QS. ath-Thalaaq:4)( Kutubu
wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/14).
Pembinaan rohani dan jasmani
Cinta yang
sejati kepada anak tidaklah diwujudkan hanya dengan mencukupi kebutuhan duniawi
dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu pemenuhan
kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber
dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah . Inilah bukti cinta dan kasih
sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan
kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Allah
memuji Nabi-Nya Ya’qub yang sangat mengutamakan pembinaan iman bagi
anak-anaknya, sehingga pada saat-saat terakhir dari hidup beliau, nasehat
inilah yang beliau tekankan kepada mereka. Allah berfirman:
أَمْ
كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا
تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ
مُسْلِمُونَ
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub
kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa
yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Rabb-mu
dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, (yaitu) Rabb Yang Maha
Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya” (QS al-Baqarah:133).
Renungkanlah teladan agung dari Nabi
Allah yang mulia ini, bagaimana beliau menyampaikan nasehat terakhir kepada
anak-anaknya untuk berpegang teguh dengan agama Allah(Lihat
keterangan Ibnu Hajar dalam “Fathul Baari” (6/414), yang landasannya adalah
ibadah kepada Allah semata-semata (tauhid) dan menjauhi perbuatan syirik
(menyekutukan-Nya dengan makhluk). Dimana kebanyakan orang pada saat-saat
seperti ini justru yang mereka utamakan adalah kebutuhan duniawi semata-mata;
apa yang kamu makan sepeninggalku nanti? Bagaimana kamu mencukupi kebutuhan
hidupmu? Dari mana kamu akan mendapat penghasilan yang cukup?
Dalam ayat
lain Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ
وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ
عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman
berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat kepadanya: “Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar” (QS Luqmaan:13).
Lihatlah bagaimana hamba Allah yang
shaleh ini memberikan nasehat kepada buah hati yang paling dicintai dan
disayanginya, orang yang paling pantas mendapatkan hadiah terbaik yang
dimilikinya, yang oleh karena itulah, nasehat yang pertama kali disampaikannya
untuk buah hatinya ini adalah perintah untuk menyembah (mentauhidkan) Allah
semata-mata dan menjauhi perbuatan syirik (Lihat
“Tafsir Ibnu Katsir” (3/586).
Manfaat dan pentingnya pendidikan anak
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah – semoga Allah
merahmatinya – berkata: “Salah seorang ulama berkata: Sesugguhnya Allah
pada hari kiamat (nanti) akan meminta pertanggungjawaban dari orang tua
tentang anaknya sebelum meminta pertanggungjawaban dari anak tentang orang
tuanya. Karena sebagaimana orang tua mempunyai hak (yang harus dipenuhi)
anaknya, (demikian pula) anak mempunyai hak (yang harus dipenuhi) orang tuanya.
Maka sebagaimana Allah berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ
بِوَالِدَيْهِ حُسْناً
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat)
kebaikan kepada kedua orang tuanya” (QS al-’Ankabuut:8).
(Demikian juga) Allah berfirman:
قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
… Maka barangsiapa yang tidak mendidik
anaknya (dengan pendidikan) yang bermanfaat baginya dan membiarkannya tanpa
bimbingan, maka sungguh dia telah melakukan keburukan yang besar terhadap
anaknya tersebut. Mayoritas kerusakan (moral) pada anak-anak timbulnya (justru)
karena (kesalahan) orang tua sendiri, (dengan) tidak memberikan (pengarahan
terhadap) mereka, dan tidak mengajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban serta
anjuran-anjuran (dalam) agama. Sehingga karena mereka tidak memperhatikan
(pendidikan) anak-anak mereka sewaktu kecil, maka anak-anak tersebut tidak bisa
melakukan kebaikan untuk diri mereka sendiri, dan (akhirnya) merekapun tidak
bisa melakukan kebaikan untuk orang tua mereka ketika mereka telah lanjut usia.
Sebagaimana (yang terjadi) ketika salah seorang ayah mencela anaknya yang
durhaka (kepadanya), maka anak itu menjawab: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau
telah berbuat durhaka kepadaku (tidak mendidikku) sewaktu aku kecil, maka
akupun mendurhakaimu setelah engkau tua, karena engkau menyia-nyiakanku di
waktu kecil maka akupun menyia-nyiakanmu di waktu engkau tua”(
Kitab “Tuhfatul mauduud biahkaamil
mauluud” (hal. 229).
Cukuplah
sabda Rasulullah berikut menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan
mendidik anak:
إن
الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول: أنى هذا ؟ فيقال: باستغفار ولدك لك.
“Sungguh seorang manusia akan
ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: Bagaimana aku bisa
mencapai semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar
(permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu”(
HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad
(2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Buushiri dan dihasankan oleh syaikh
al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 1598). Ketika
mengomentari hadits ini al-Munawi dalam “Faidhul Qadiir” (2/339) berkata:
“Seandainya tidak ada keutamaan menikah kecuali hadits ini saja maka cukuplah
(menunjukkan besarnya keutamaannya)”.
Sebagian dari para ulama ada yang
menerangkan makna hadits ini yaitu: bahwa seorang anak jika dia menempati
kedudukan yang lebih tinggi dari pada ayahnya di surga (nanti), maka dia akan
meminta (berdoa) kepada Allah agar kedudukan ayahnya ditinggikan (seperti
kedudukannya), sehingga Allah pun meninggikan (kedudukan) ayahnya.
(Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/339).
Dalam hadits shahih lainnya Rasulullah : “Jika seorang manusia mati maka
terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus
mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya
(diamalkan sepeninggalnya), dan anak shaleh yang selalu mendoakannya”( HR Muslim (no. 1631).
Hadits ini menunjukkan bahwa semua amal kebaikan yang dilakukan
oleh anak yang shaleh pahalanya akan sampai kepada orang tuanya, secara
otomatis dan tanpa perlu diniatkan, karena anak termasuk bagian dari usaha
orang tuanya
Adapun
penyebutan “doa” dalam hadits tidaklah menunjukkan pembatasan bahwa hanya doa
yang akan sampai kepada orangtuanya(Dalam hadits
ini Rasulullah r tidak mengatakan: “doa anak yang shaleh”, tapi yang beliau r
katakan: “… anak shaleh yang selalu mendoakannya”, artinya: semua amal kebaikan
anak yang shaleh pahalanya akan sampai kepada orang tuanya, tapi
tujuannya adalah untuk memotivasi anak yang shaleh agar selalu mendoakan orang
tuanya” (Lihat kitab “Ahakaamul janaaiz” (hal.
223).
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani – semoga Allah merahmatinya –
berkata: “(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh,
juga akan diperuntukkan kepada kedua orang tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun
dari pahala anak tersebut, karena anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua
orang tuanya. Allah berfirman:
وَأَنْ
لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS an-Najm:39).
Rasulullah bersabda: “Sungguh
sebaik-baik (rezki) yang dimakan oleh seorang manusia adalah dari usahanya
sendiri, dan sungguh anaknya termasuk (bagian) dari usahanya”( HR
Abu Dawud (no. 3528), an-Nasa’i (no. 4451), at-Tirmidzi (2/287) dan Ibnu Majah
(no. 2137), dihasankan oleh imam at-Tirmidzi dan dinyatakan shahih oleh syaikh
al-Albani).
Kandungan
ayat dan hadits di atas juga disebutkan dalam hadits-hadist (lain) yang secara
khusus menunjukkan sampainya manfaat (pahala) amal kebaikan (yang dilakukan)
oleh anak yang shaleh kepada orang tuanya, seperti sedekah, puasa, memerdekakan
budak dan yang semisalnya…” (Kitab “Ahakaamul janaaiz” (hal.
216-217).
Catatan
Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kita untuk lebih memperhatikan
pendidikan anak kita, utamanya pendidikan agama mereka, karena pada gilirannya
semua itu manfaatnya untuk kebaikan diri kita sendiri di dunia dan akhirat
nanti.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami
isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan
jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar