TAFSIR SURAT AN-NAAS
“Katakanlah: Aku berlindung kepada
Tuhan (Rob/yang memelihara) manusia, Raja manusia, Sembahan (Ilaah) manusia.
Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan
(kejahatan) ke dalam manusia, dari golongan jin dan manusia.”Qs.An-Naas1-6)
Surat ini beserta surat Al Falaq merupakan sebab sembuhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sihir seorang penyihir
Yahudi bernama Labid bin A’shom. Dalam sihir tersebut Rasulullah dikhayalkan
seakan-akan melakukan suatu hal yang beliau tidak melakukannya.
Kisah
tersebut disebutkan dalam hadits yang shohih, sehingga kita harus
mempercayainya. Jika syaitan membisiki Anda dengan mengatakan bahwa seandainya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa terkena sihir berarti ada
kemungkinan bahwa bisa saja syaitan mewahyukan kepada Rasulullah sebagian dari
Al Quran? Maka bantahlah bahwa Allah Maha Kuasa terhadap seluruh makhluknya,
jika Allah telah berjanji memelihara kemurnian Al Quran (QS. Al-Hijr: 9) maka
tidak ada yang dapat mengubahnya.
Jika
setan tersebut kembali membisikkan agar kita menolak hadits tersebut dan menanamkan
keraguan di hati kita tentang validitas hadits shohih sebagai sumber hukum
islam dengan alasan bahwa kisah itu tidak masuk akal karena Allah subhanahu wa
ta’ala selalu melindungi rasul-Nya. Maka katakanlah bahwa Allah subhanahu wa
ta’ala tidak mungkin memelihara lafal Al Quran tanpa memelihara penjelasannya
berupa perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan
dalam hadits. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan dilahirkannya di tengah umat
ini para imam ahli hadits yang hafalannya sangat mengagumkan. Di antaranya
adalah imam Ahmad yang menghafal hingga 1 juta hadits beserta sanadnya.
Allah
subhanahu wa ta’ala menakdirkan terjadinya hal tersebut sebagai ujian bagi
manusia, apakah mereka beriman ataukah kafir. Sebagaimana Allah subhanahu wa
ta’ala meng-isra dan mi’raj-kan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam satu malam, ada sebagian kaum muslimin ketika itu yang murtad. Sedangkan
pengaruh perlindungan setelah membaca kedua surat tersebut akan lebih kuat jika
disertai dengan pemahaman dan perenungan akan maknanya.
Memohon Perlindungan
Melalui Perantara Nama-Nya
Dalam
surat ini terkandung permohonan perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dengan bertawasul (menggunakan perantara) dengan tiga nam-Nya yang mencakup
tiga makna keyakinan tauhid kepada Allah secara sempurna. Yaitu tauhid
rububiyah, asma wa sifat dan uluhiyah. Ketiga jenis tauhid ini diwakili oleh
asma-asma Allah subhanahu wa ta’ala sebagi berikut:
Ar-Rabb dalam kata Rabbinnaas (Tuhan Manusia) bermakna bahwa
Allah subhanahu wa ta’ala adalah pencipta, pengatur dan pemberi rezeki seluruh
umat manusia. Tentunya Allah subhanahu wa ta’ala
bukan hanya Rabb atau Tuhannya manusia, namun juga seluruh Alam semesta ini
beserta isinya. Pengkhususan penyebutan Rabb manusia di sini adalah untuk
menyesuaikan dengan pembicaraan. Menauhidkan Allah pada hal tersebutlah yang
dimaksud dengan tauhid rububiyah. Seseorang yang memiliki keyakinan bahwa
wali-wali tertentu dapat mengabulkan permohonan berupa harta, jodoh atau anak
maka dia telah menyekutukan Allah dalam rububiyah-Nya.
Al-Malik adalah salah satu dari asmaul husna yang bermakna
pemilik kerajaan yang sempurna dan kekuasaan yang mutlak. Sedangkan penyebutan
kata Ilahinnaas (sembahan manusia) di sini adalah untuk menegaskan Allah
adalah yang seharusnya disembah oleh manusia dengan berbagai macam peribadatan.
Sedangkan
ibadah itu ada dua jenis yaitu zhohir dan batin. Yang zhohir misalnya adalah
sholat, do’a, zakat, puasa, haji, nazar, menyembelih qurban dan lain sebaginya.
Sedangkan yang batin letaknya di dalam hati, seperti khusyu’, roja’
(pengharapan terhadap terpenuhinya kebutuhan), khouf (takut yang disertai
pengagungan), cinta dan lain sebagainya. Barang siapa yang meniatkan salah satu
dari ibadah-badah tersebut kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik.
Siapa yang sujud kepada kuburan Nabi dan para wali atau yang lainnya, maka dia
telah berbuat kesyirikan, siapa yang tawakalnya kepada jimat maka dia telah
syirik.
Bisikan Syaitan Pada Hati
Manusia
Pada
surat Al-Falaq permohonan perlindungan hanya bertawasul menggunakan nama Allah Ar-Rabb
saja. Sedangkan pada surat An-Naas ini digunakan 3 nama sekaligus yang mewakili
3 jenis tauhid. Hal ini mengindikasikan bahwa ancaman pada surat An Naas lebih
besar dari pada ancaman yang disebutkan pada surat Al-Falaq. Ancaman yang
disebutkan dalam surat Al-Falaq hanya mencelakakan manusia di dunia dan
bersifat lahiriah, sehingga dapat atau mudah dideteksi.
Sedangkan
pada surat An-Naas ini ancamannya dapat mencelakakan manusia baik di dunia
maupun di akhirat. Ancaman yang sangat halus, bukan merupakan kata-kata yang
dapat didengar, sehingga sulit untuk di deteksi. Kemudian yang dijadikan
sasarannya adalah hati, di mana hati manusia merupakan raja dari seluruh
anggota tubuh. Tentang hal tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Sesungguhnya dalam tubuh ini ada segumpal
daging, jika baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, jika rusak, maka rusaklah
seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari & Muslim)
Hati
sebagai raja adalah yang memerintah seluruh anggota tubuh. Jika hatinya
cenderung kepada ketaatan, maka anggota tubuhnya akan melaksanakan kebaikan
tersebut. Dan begitu pula sebaliknya. Syaitan menjadikan hati sebagai target
utama karena hati adalah ‘tiket’ keselamatan seorang hamba di akhirat, di mana
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki
tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih/selamat (saliim).” (QS.
Asy-Syu’ara: 88-89)
Orang
yang selamat di akhirat adalah orang datang menjumpai Allah dengan hati yang
bersih (Qolbun Saliim). Bersih dan selamat dari penyakit syubhat dan
syahwat. Syubhat adalah bisikan-bisikan syaitan terhadap seorang hamba sehingga
dia meyakini kebenaran sebagai kebatilan, yang sunah sebagai bid’ah dan
sebaliknya. Sedangkan syahwat adalah bisikan syaitan untuk mengikuti segala
yang diinginkan oleh jiwa, meskipun harus menentang aturan Allah subhanahu wa
ta’ala. Jika seorang hamba selalu memperturutkan syahwatnya dan melanggar
aturan Allah, maka lama-kelamaan hatinya akan menganggap kemaksiatannya itu
adalah suatu hal yang biasa, sehingga menjerumuskannya kepada penghalalan suatu
yang diharamkan Allah.
Jika
hati diumpamakan sebagai sebuah benteng, maka syaitan adalah musuh yang hendak
masuk dan menguasai benteng tersebut. Setiap benteng memiliki pintu-pintu yang
jika tidak dijaga maka syaitan akan dapat memasukinya dengan leluasa.
Pintu-pintu itu adalah sifat-sifat manusia yang banyak sekali bilangannya. Di
antaranya seperti; cinta dunia, syahwat dan lain sebagainya. Jika dalam hati
masih bersemayam sifat-sifat tersebut, maka syaitan akan mudah berlalu lalang
dan memasukan bisikannya, sehingga mencegahnya dari mengingat Allah dan mengisi
hati dengan takwa.
Syaitan Jin dan Manusia
Di
kalangan masyarakat ada yang menganggap bahwa syaitan, jin dan iblis adalah
jenis makhluk tersendiri. Maka ayat terakhir dari surat ini membantah anggapan
yang salah tersebut. Sesungguhnya makhluk yang mendapatkan beban syariat ada
dua; yaitu jin dan manusia. Iblis merupakan bangsa jin berdasarkan firman Allah
subhanahu wa ta’ala yang maknanya:
“Dan ketika Kami berfirman kepada para
malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia
adalah dari golongan jin…” (QS.
Al-Kahfi: 50)
Sedangkan
syaitan adalah sejahat-jahat makhluk dari kalangan jin dan manusia yang
mengasung sebagian kepada yang lain ke neraka.
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap
nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan manusia dan jin, sebahagian mereka
membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah
untuk menipu…” (QS. Al-An’am: 112). Wallahu’alam.
“Semoga tulisan ini
bermanfaat bagi kita semua” Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar