Jumat, 24 Januari 2014

SESUNNGUHNYA ALLAH TIDAK MELIHAT KAPADA RUPA KALIAN AKAN TETAPI MELIHAT HATI KALIAN

ALLAH TIDAK MELIHAT KEPADA RUPA KALIAN AKAN TETATP ALLAH MELIHAT KEPADA HATI KALIAN


Inilah Maksud Hadits “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada jasad/bentuk(rupa) kalian tapi Allah melihat pada hati kalian..” : Apabila hanya hati yang diutamakan maka tidak perlu bersusah payah menunaikan shalat 5 waktu, shaum, zakat, haji,dll.
Banyak syubhat dilontarkan kepada kaum muslimin yang ingin mengamalkan syariah agama ini dengan benar sesuai tuntunan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi Wasallam. Ketika kita memakai pakaian ghamis/jubah, berjenggot, memotong pakaian diatas mata kaki atau muslimah yang ingin mengenakan jilbab yang syar’i dan bercadar sertamerta muncullah banyak komentar dan nada miring yang seakan-akan memandang sebelah mata terhadap sunnah-sunnah tersebut.
Salahsatu Syubhat yang ‘ngetrend’ dan biasa kita dengar adalah :
Buat apa berjilbab kalau hati kita belum siap, belum bersih…..,
masih suka ‘ngerumpi’ berbuat maksiat dan dosa-dosa lainnya, percuma dong pake jilbab!
Yang utama itu jilbab hati bukan jilbab dhohir, dll…..
lalu tercenunglah saudari kita ini membenarkan pendapat kawannya.
Syubhat lainnya lagi adalah ”Liat tuh kan ada hadits yang berbunyi: Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk(rupa) kalian tapi Allah melihat pada hati kalian..!. Jadi yang wajib adalah hati, menghijabi hati kalau hati kita baik maka baik pula keislaman kita walau kita tidak berkerudung!. Benarkah demikian ya ukhti,, ??
Ketahuilah saudaraku, siapapun yang berfikiran dan berpendapat demikian maka wajiblah baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala memohon ampun atas kejahilannya dalam memahami syariat yang mulia ini.  Jika agama hanya berlandaskan pada akal dan perasaan maka rusaklah agama ini. Bila agama hanya didasarkan kepada orang-orang yang hatinya baik dan suci, maka tengoklah disekitar kita ada orang-orang yang beragama Nasrani, Hindu atau Budha dan orang kafir lainnya liatlah dengan seksama ada diantara mereka yang sangat baik hatinya, lemah lembut, dermawan, bijaksana. Apakah anda setuju untuk mengatakan mereka adalah muslim karena hati mereka sangat baik ? 
Tentu akal anda akan mengatakan “tentu tidak! karena mereka tidak mengucapkan syahadatain, mereka tidak memeluk islam, perbuatan mereka menunjukkan mereka bukan orang islam. Tentu anda akan sependapat dengan saya bahwa kita menghukumi seseorang berdasarkan perbuatan yang nampak(zahir) dalam diri orang itu.. Ketahuilah, Semua adalah seiring dan sejalan, hati dan amal. Apabila hanya hati yang diutamakan niscaya akan hilanglah sebagian syariat yang mulia ini. Tentu kaum muslimin tidak perlu bersusah payah menunaikan shalat 5 waktu, berpuasa dibulan Ramadhan, membayar zakat dan sedekah atau bersusah payah menghabiskan harta dan tenaga untuk menunaikan ibadah haji ketanah suci Mekah atau amal ibadah lainnya. Tentu para sahabat tidak akan berlomba-lomba dalam beramal (beribadah) cukup mengandalkan hati saja, toh mereka adalah sebaik-baik manusia diatas muka bumi ini. Akan tetapi justru sebaliknya mereka adalah orang yang sangat giat beramal tengoklah satu kisah indah diantara kisah-kisah indah lainnya.
Berikut ini adalah Tulisan As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Rahimahullah mengenai hadits “hati” tersebut :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda (yang artinya)  Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad-jasad kalian dan tidak juga kepada rupa-rupa kalian akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian (dan amalan-amalan kalian)” (Hadits Riwayat Muslim).
Berkata Syaikh Al Albany rahimahullah sebagaimana dalam ta’liqnya atas Riyadhus Shalihin hadits no 8 ” Imam Muslim dan yang lainnya menambahkan dalam riwayatnya “Wa a’malikum” (dan amalan-amalan kalian) sebagaimana dikeluarkan dalam “Ghayatul Marom fi takhrijil Halal wal Haram (410)”Tambahan ini penting sekali karena kebanyakan manusia memahami hadits dengan faham yang salah, kalau seandainya engkau perintahkan seseorang dengan sesuatu yang telah diperintahkan syara’ yang penuh hikmah seperti memanjangkan jenggot dan meninggalkan tasyabuh (penyerupaan) terhadap orang kafir serta yang semisalnya dari beban-beban syariah, maka mereka menjawab bahwa yang menjadi pegangan adalah apa yang ada di hati, mereka beralasan dengan hadits ini tanpa mengetahui tambahan hadits shahih yang menunjukan bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala juga melihat kepada amalan-amalan mereka, apabila amalan-amalan itu shalihah maka diterimalah dan apabila tidak maka tertolaklah atas mereka, sebagaimana telah ditunjukan dalam banyak nas-nas qur’an dan sunnah seperti sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam (yang artinya) “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami sesuatu yang bukan perintah agama maka itu tertolak” (Hadits 173)
Secara hakikat bahwa tidak mungkin akan tergambar baiknya hati kecuali dengan baiknya amalan-amalan dan tidak ada kebaikan bagi suatu amalan kecuali dengan baiknya hati dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan yang demikian dengan seindah-indahnya penjelasan dalam hadits Nu’man bin Basyir (yang artinya)….
“ Ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal daging apabila baik gumpalan tersebut maka baiklah jasad tersebut dan sebalikya apabila rusak maka rusaklah jasad tersebut ingatlah bahwa itu adalah hati”

dan hadits yang lain (yang artinya),“luruskanlah diantara shaf-shaf kalian atau allah akan jadikan perselisihan diatara hati-hati kalian”.
Dan juga sabda Beliau (yang artinya), “Sesungguhnya Allah indah dan menyukai keindahan”
Dan keindahan ini adalah keindahan secara jasad berbeda dengan persangakan kebanyakan dari manusia (lihat hadits 617)Dan jika engkau tahu hal ini maka siapakah yang lebih keji kesalahannya yang bisa engkau lihat dalam kitab (Riyadus shalaihin) pada kebanyakan naskah baik berupa tulisan tangan atau yang dicetak yang saya pernah lihat atasnya. Adapun tamhahan hadits yang disebutkan telah diketahui penulis (Imam Nawawi) rahimahullah dalam hadits no 1578 akan tetapi tintanya atau tinta penulisnya telah terjadi kesalahan yang pada akhirnya diletakkan di tempat yang dapat merusak makna yaitu
Dan terus berlanjut hal ini pada setiap pencetak atau pentashih serta kalangan mualliq tanpa terkecuali juga kepada pentashih cetakab Ak Mubariyyah dan yang lainnya, bahkan terus berlanjut perkara ini atas penyarah kitab Ibnu Allan sendiri dalam penjelasan hadits (406/4) ” artinya Allah Ta’ala tidak mengkaitakan pahala kepada besarnya jasad, baiknya rupa serta banyaknya amal”.
Penyelasan ini tidak ragu lagi akan kebathilannya karena disamping bertentangan dengan hadits dalam nashnya yang sahih juga bertentangan dengan nash-nash yang banyak dari al kitab dan as sunnah yang menunjukan perbedaan derajat para hamba di dalam surga yang disebabkan banyak atau sedikitnya amal saleh yang dikerjakan hamba tersebut. Diantaranya firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bagi semuanya ada derajat-derajat (di surga) dengan sebab apa yang mereka amalkan” (Al An’am : 132)
Juga Firman-Nya dalam hadits qudsi “Wahai hamba-hamba-Ku itu adalah amalan-amalan kalian yang Aku telah hitung bagi kalian dan Aku beri balasan atasnya maka barangsiapa mendapatkan kebaikan maka hendaklah ia memuji Allah” (al Hadits 113)” Maka bagaimana bisa difahami Allah tidak melihat kepada amal-amal sebagaimana jasad-jasad dan rupa padahal amalan adalah pokok bagi masuknya ke dalam sorga setelah iman sebagaimana firman-Nya “masuklah kalian ke surga dengan sebab apa yang kalian amalkan“ (An Nahl : 32).
Maka perhatikanlah betapa banyak orang yang taklid sehingga menghalanginya dari kebenaran dan menjerumuskan dia ke lembah karena kesalahan yang jauh dan tidaklah yang demikian itu terjadi kecuali karena berpalingnya mereka dari mempelajari sunnah pada induk-induk kitab yang dijadikan pegangan.dan sahihah.
Wallahul Musta’an

Tidak ada komentar:

Posting Komentar