Rabu, 12 Februari 2014

Mengqadha Shalat



MASALAH MENGQADHA SHALAT
Bismillaahirrahmaanirrahiimi
Assalamualaikum Warahmatullai Wabarkaatuh
#Oleh: Abu Samah Al-Hafidz

           Diantara amalan yang tingkat kewajibannya sangat kuat adalah shalat. Karena itu, shalat hukumnya wajib dikerjakan oleh semua orang yang telah baligh, selagi dia masih berakal. Namun sayang, perhatian kaum muslimin terhadap shalatnya, tidak sekuat tingkat kewajibannya. Ada diantara mereka yang meninggalkan sama sekali, ada yang bolong-bolong, ada yang suka telat, hingga ada yang sengaja telat. Jika sudah telat, dia mulai resah, bagaimana cara mengqadha’nya.
Ada beberapa catatan penting terkait dengan qadha shalat:
Pertama, shalat adalah kewajiban yang dibatasi waktunya
Allah berfirman,
 “Sesungguhnya shalat merupakan kewajiban bagi orang beriman yang telah ditetapkan waktunya.” (QS. An-Nisa: 103).
             Ada batas awal dan ada batas akhir untuk shalat wajib. Orang yang mengerjakan shalat setelah batas akhir statusnya batal, sebagaimana orang yang mengerjakan shalat sebelum masuk waktu, juga batal. Dengan demikian, hukum asal shalat, harus dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan. Dan tidak boleh keluar dari hukum asal ini, kecuali karena ada sebab yang diizinkan oleh syariat, seperti alasan bolehnya menjamak shalat.
Kedua, pelaksanaan shalat wajib ada 4 bentuk: ada’, qadha, I’adah, dan dijamak.
1.      Ada’ [arab: أداء] : melaksanakan shalat pada waktu yang telah ditentukan. Inilah cara mengerjakan shalat dalam kondisi normal, sebagaimana jadwal shalat yang telah dimaklumi bersama.
2.      Qadha [arab: قضاء] : melaksanakan shalat setelah batas waktu yang ditetapkan. Ini hanya boleh dikerjakan dalam kondisi tertentu.
3.      I’adah [arab: إعادةُ] : Mengulangi shalat wajib, karena shalat sebelumnya dinilai batal dengan sebab tertentu, namun masih dalam rentang waktu shalat. Misal, orang shalat dzuhur tanpa bersuci karena lupa, kemudian dia mengulangi shalat tersebut sebelum waktu dzuhur selesai.
4.      Jamak : melaksanakan shalat yang digabungkan dengan shalat sebelumnya atau sesudahnya. Jamak hanya boleh dilakukan dengan syarat dan ketentuan tertentu.
Ketiga, orang yang telat dalam mengerjakan shalat ada 2:
a. Telat mengerjakan shalat di luar kesengajaan.
             Seperti ketiduran, atau kelupaan, kemudian baru sadar setelah waktu shalat selesai. Dalam kondisi ini, dia diwajibkan untuk segera melaksanakan shalat setelah sadar. Dalil ketentuan ini adalah hadis dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 “Barang siapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat waktu shalat maka penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia ingat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
             Disebutkan dalam hadis yang lain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan suatu perjalanan bersama para shahabat. Di malam harinya, mereka singgah di sebuah tempat untuk beristirahat. Namun mereka kesiangan dan yang pertama bangun adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sinar matahari.
            Kemudian, beliau berwudhu dan beliau memerintahkan agar azan dikumandangkan. Lalu, beliau melaksanakan shalat qabliyah subuh, kemudian beliau perintahkan agar seseorang beriqamah, dan beliau melaksanakan shalat subuh berjemaah. Para sahabatpun saling berbisik, ‘Apa penebus untuk kesalahan yang kita lakukan karena telat shalat?’ Mendengar komentar mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya ketiduran bukan termasuk menyia-nyiakan shalat. Yang disebut menyia-nyiakan shalat adalah mereka yang menunda shalat, hingga masuk waktu shalat berikutnya. Siapa yang ketiduran hingg telat shalat maka hendaknya dia laksanakan ketika bangun…” (HR. Muslim)
           Namun perlu diingat, makna hadis ini tidak berlaku untuk orang yang sengaja tidur ketika datang waktu shalat, dan tidak bangun sampai waktu shalat selesai. Kemudian dia beralasan ketiduran, padahal tidak ada usaha darinya untuk bangun ketika waktu shalat.
b. Telat mengerjakan shalat dengan kesengajaan
           Orang yang sengaja menunda shalat, hingga keluar waktu shalat, telah melanggar dosa yang sangat besar. Sampai sebagian ulama memvonis perbuatan semacam ini sebagai tindakan kekafiran. Ini menunjukkan bahwa sengaja menunda waktu shalat sampai keluar waktu, statusnya dosa yang sangat besar. Dan dia wajib untuk sungguh-sungguh bertaubat.
Apakah orang ini wajib qadha?
           Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Mayoritas ulama berpendapat, dia tetap wajib mengqadha shalatnya dan dia berdosa karena perbuatannya, selama belum sungguh-sungguh bertaubat. Sementara pendapat yang dikuatkan syaikhul islam, qadha shalat yang dia kerjakan tidak sah, karena berarti dia melaksanakan shalat di luar waktu tanpa udzur (alasan) yang dibolehkan. Syaikhul Islam mengatakan,
 “Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak disyariatkan meng-qadhanya. Dan jika dilakukan, shalat qadhanya tidak sah. Namun yang dia lakukan adalah memperbanyak shalat sunah. Ini meruapakan pendapat sebagian ulama masa silam.” (Al-ikhtiyarot, hlm. 34).
Keempat, bolehkah melakukan qadha shalat di waktu terlarang
             Ada beberapa waktu yang terlarang untuk shalat, diantaranya: ketika matahari terbit, atau matahari tenggelam. Ketika ada orang yang ketiduran shalat subuh dan baru bangun ketika matahari terbit, atau ketiduran shalat asar, dan baru bangun ketika matahari terbenam, bolehkah dia mengqadha?
Dalam fatwa islam dinyatakan,
           Jika seorang muslim memiliki udzur, seperti ketiduran atau kelupaan, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka wajib baginya untuk mengqadha shalat ketika sudah sadar, meskipun di waktu yang terlarang. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Simak Al-Mughni (2/515). (Fatawa Islam, no. 20013)
Kelima, baru teringat setelah melewati beberapa shalat
            Orang yang lupa shalat, dan baru teringat setelah melewati beberapa shalat maka dia wajib mengqadha shalat tersebut dan beberapa shalat yang dilewati. Misalnya, orang lupa shalat dzuhur dan baru ingat setelah maghrib. Dia wajib mengqadha shalat dzuhur, asar, kemudian maghrib. Demikian yang difatwakan oleh Imam Malik.
Keenam, Shalat tanpa bersuci karena lupa
             Shalat tanpa bersuci, baik dengan wudhu maupun tayammum, hukumnya batal. Kecuali jika dia tidak mampu melakukan keduanya. Namun jika ada orang yang shalat tanpa berwudhu karena lupa, padahal normalnya dia mampu berwudhu, maka status shalatnya batal dan wajib diulangi, ketika ingat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Allah tidak menerima shalat kalian ketika dalam kondisi hadats, sampai dia berwudhu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
            Karena statusnya batal, shalat yang dikerjakan tanpa berwudhu, tidak dinilai sebagai shalat. Dan jika dia baru ingat setelah keluar waktu shalat maka wajib diqadha.
Dalam Fatwa Sayabakah Islamiyah dinyatakan,
 “Orang yang shalat tanpa wudhu karena lupa, kemudian dia baru teringat, meskipun sudah keluar waktu shalat, dia harus berwudhu dan mengulangi shalatnya. Dia tidak berdosa, selama itu dilakukan karena lupa. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah meangampuni kesalahan umatku karena keliru, lupa, atau dipaksa.” HR. Ibnu Majah, Baihaqi dan yang lainnya. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 27116). Wallahu’alam.
“Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua” Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar