ADAB BERCANDA
Mungkin
kita pernah mendengar seseorang berkata “Jenggotmu makin panjang aja, kayak
embek” atau ketika ada akhwat bercadar lewat dikatakan “Awas…awas…ada ninja
lewat” dengan nada bercanda. Atau perkataan seperti “Eh gua dulu dong, yang
tampangnya jelek belakangan” kepada teman kuliah saat sedang antri bayar SPP.
Atau kadang kita bercanda “Eh, naik mobil gua yuk, tapi mobilnya masih di
toko”. Terdengar biasa saja?
Sebagai
makhluk sosial, manusia tentunya dituntut untuk bisa berinteraksi dengan
manusia yang lain. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan
butuh orang lain dalam memenuhi hajat-hajat hidupnya. Untuk bisa melahirkan
seorang manusia saja, seorang ibu butuh seorang suami. Saat lahir pun
akan membutuhkan bantuan dari bidan atau dokter. Dan seterusnya sampai kita
dewasa pasti akan membutuhkan peran orang lain dalam hidup kita.
Maka,
seorang manusia sejatinya harus bisa berinteraksi dengan manusia yang lain
dengan baik. Membangun keakraban, membangun suasana kekeluargaan,
menjalin persahabatan. Rasulullah pun memerintahkan kita untuk menjadi orang
yang suka bergaul di masyarakat dengan baik : “Mukmin yang bergaul
ditengah-tengah masyarakat dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik
daripada mukmin yang tidak bergaul dan tidak bersabar dengan gangguan orang”
(HR. Ahmad, dihasankan oleh Al-Hafidz dalam Al-Fath).
Dalam
bergaul, kadang diperlukan bumbu-bumbu agar muamalah tidak membosankan, tidak
kaku dan supaya mudah tercipta keakraban. Bumbu-bumbu tersebut kadang berupa
candaan. Bisa berupa plesetan, humor, tingkah yang lucu, sindiran dan segala
macam bentuk canda yang bisa mencairkan suasana. Tentu saja hal ini adalah
perkara mubah, boleh-boleh saja.
Bahkan
Rasulullah pun suka bercanda. Anas ra. Meriwayatkan bahwa pernah ada seorang
laki-laki meminta kepada Rasulullah agar membawanya di atas kendaraan. Kemudian
Rasulullah berkata: “Aku akan membawamu di atas anak unta”. Orang tadi bingung
karena ia hanya melihat seekor unta dewasa, bukan anak unta. Kemudian
Rasulullah berkata: “Bukankan yang melahirkan anak unta itu anak unta juga?”
(HR.Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad yang shahih)
Namun
seringkali dalam kenyataannya, banyak sekali candaan-candaan yang melewati
batas dan tidak sesuai dengan akhlak Islami yang hanif. Seringkali candaan
mengandung unsur kebohongan, mengolok-olok ajaran agama, menyakiti perasaan
teman, tertawa berlebihan dan kebatilan-kebatilan lain. Seringkali candaan jadi
apologi seseorang untuk berbuat buruk. Misalnya ia mencela seseorang
kemudia nketika orang tersebut tersinggung pencela tadi berdalih “Saya khan
cuma bercanda”. Sungguh ini sebuah kezhaliman. Padahal Rasulullah sendiri dalam
bercanda pun tetap tidak keluar dari batasan-batasan akhlak Islami. Dari Abu
Hurairah ia berkata, “Ya Rasulullah, sungguh engkau sering bergurau dengan
kami”. Kemudian Rasulullah berkata “Tapi, sungguh aku tidak mengatakan kecuali
kebenaran”. (HR Tirmidzi, Hadist hasan).
Maka bercanda pun ada
adabnya:
1. Hendaknya percandaan tidak
mengandung nama Allah, ayat-ayat-Nya, Sunnah Rasul-Nya atau syi`ar-syi`ar
Islam.
Di zaman Rasulullah pernah ada beberapa orang dari kaum
Muslimin yang bercanda dengan berkata bahwa tidak ada orang yang lebih penakut
dan berperut buncit seperti para penghafal Qur’an itu (Rasulullah dan para
sahabat). Kemudian ada sahabat yang
mendengarkan hal tersebut kemudian dilaporkan kepada Rasulullah. Kemudian
turunlah ayat: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan), tentulah mereka menjawab: “Sesungguh-nya kami hanyalah bersenda gurau
dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? “. Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu
kafir sesudah beriman”. (At-Taubah: 65-66).
Rasulullah
pun tidak mema’afkan mereka walau mereka berdalh hanya bercanda saja. Karena
ajaran agama ini adalah ajaran yang suci yang turun dari Allah, sekecil apapun
itu. Maka barang siapa menghina ajaran ini, sama saja dengan menghina Allah SWT
dan Rasul-Nya. Misalnya orang yg menghina seseorang yang memanjangkan
jenggotnya karena mengikuti sunnah dengan berkata “Jenggotmu panjang sekali,
mirip embek(kambing) “. Maka sama saja ia mencela orang yang telah mencontohkan
hal tersebut, yaitu Rasulullah SAW. Hal-hal lain yang sering dicela dalam
candaan misalnya: * Akhwat yang memakai cadar * Hadist tentang adanya syetan
menjadi pihak ketiga bila seorang laki-laki berduaan dengan wanita non-muhrim.
Mereka (orang-orang jahil) mengatakan bila ada temannya yang datang mengganggu
aktifitas khalwat mereka, maka dialah syaitannya. Sungguh ini candaan yang
bathil. * Ikhwan yang meninggikan pakaiannya di atas mata kaki. * Ucapan salam
“Assalamu’alaikum” yang sering dibuat-buat supaya terdengar lucu. dll.
2. Hendaknya percandaan itu tidak
mengandung dusta.
Hendaknya
pecanda tidak mengada-ada cerita-cerita khayalan atau berbohong supaya orang
lain tertawa. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: Celakalah bagi
orang yang berbicara lalu berdusta supaya dengannya orang banyak jadi tertawa.
Celakalah baginya dan celakalah”. (HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
3. Hendaknya percandaan tidak
mengandung unsur menyakiti perasaan salah seorang di antara manusia.
Mencela
atau menyakiti perasaan tidak dihalalkan diantara sesama mukmin. Hendaknya
setiap orang menjaga perasaan saudaranya dalam setiap keadaan, baik bercanda
ataupun bukan. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mencela sebagian yang lain, karena boleh jadi yang dicela itu lebih baik
dari yang mencela” (Al-Hujurat : 11)
Misalnya
dengan berkata “Yang bertampang jelek minggir dulu” atau “Hei hitam, kalau
malam jangan keluar rumah, nanti tidak terlihat”. Sekalipun hanya dalam
candaan, celaan tetap akan menyakiti hati dan berbekas dihati. Lebih khusus
mengenai ini Rasulullah memperingati: “Janganlah seorangdi antara
kamu mengambil barang temannya apakah itu hanya canda atau sungguh-sungguh; dan
jika ia telah mengambil tongkat temannya, maka ia harus mengembalikannya kepadanya”.
(HR. Ahmad dan Abu Daud; dinilai hasan oleh Al-Albani). Hadist ini mengingatkan
bahwa dilarang berbuat zhalim dalam bercanda, apakah itu mengambil
barang, menyakiti hati, menyakiti fisik atau semacamnya.
4. Bercanda tidak dengan semua
orang.
Maksudnya,
dalam bercanda harus pilih-pilih. Tidak semua orang suka dibercandai dan
bercanda bisa saja menimbulkan mudharat (keburukan) bila dilakukan dengan
orang-orang tertentu, misalnya wanita yang bukan mahram. Bercanda berlebihan
dengan wanita non-muhrim akan menimbulkan fitnah. Maka sebaiknya dibatasi kadar
dan intensitasnya. Begitu pula kepada orang yang lebih tua, tentunya sikap yang
utama adalah santun dan berlemah lembut. Adapun bila ingin bercanda perlu
disesuaikan jenis candaannya agar tidak mengurangi rasa hormat kita.
5. Tidak bergaya menyerupai wanita
(atau laki-laki).
Seringkali
untuk membuat orang tertawa, seorang laki-laki bergaya seperti wanita. Baik
pakaian, cara berjalan, atau cara bicaranya. Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata
“Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan melaknat
perempuan yang menyerupai laki-laki”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad,
Ad-Darimi, hadist shahih). Sungguh aneh, saat zaman dahulu di negeri kita ini
banci atau bencong menjadi hal yang tabu, namun di masa ini malah menjadi hal
yang biasa saja dan malah jadi bahan candaan. Padahal hal tersebut mendapat
laknat Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah
akhlak seorang muslim yang hanif. Tidaklah melakukan sesuatu melainkan itu
sebuah kebaikan, baik dalam bekerja, melihat, mendengar juga dalam berbicara.
Sesuai dengan sabda Rasulullah: “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Cuma ada
2 pilihan, berkata yang baik, kalau tidak bisa maka diamlah. Para ulama yang
shalih menganjurkan agar tidak memperbanyak canda dan tidak berlebihan
dengannya. Baik dalam bermuamalah, dalam menuntut ilmu apalagi dalam berdakwah.
Karena seseunggunnya hal tersebut dapat menjatuhkan wibawa, menjauhkan diri
dari hikmah, menimbulkan kedengkian, mengeraskan hati dan membuat banyak
tertawa yang melalaikan diri dari mengingat Allah.
Wallahu’alam. “Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita
semua” Aamiin.
“Diambil dari Al-Qismu Al-Ilmi, Penulis
Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar