Tafsir dan Hadits
Sabtu, 11 Januari 2014
TAHLILAN BERASAL DARI AGAMA HINDU
Kita mengenal sebuah ritual keagamaan di dalam masyarakat muslim ketika
terjadi kematian adalah menyelenggarakan selamatan kematian/kenduri
kematian/tahlilan/yasinan (karena yang biasa dibaca adalah surat Yasin)
di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 harinya. Disini kami mengajak anda untuk
mengkaji permasalahan ini secara praktis dan ilmiah.
Setelah diteliti ternyata amalan selamatan kematian/kenduri
kematian/tahlilan di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 hari, bukan berasal
dari Al Quran, Hadits (sunah rasul) dan juga Ijma Sahabat, malah kita
bisa melacaknya dikitab-kitab agama hindu.
Disebutkan bahwa kepercayaan yang ada pada sebagian ummat Islam, orang
yang meninggal jika tidak diadakan selamatan (kenduri: 1 hari, 3 hari, 7
hari, 40 hari dst, /red ) maka rohnya akan gentayangan adalah
jelas-jelas berasal dari ajaran agama Hindu. Dalam agama Hindu ada
syahadat yang dikenal dengan Panca Sradha (Lima Keyakinan). Lima
keyakinan itu meliputi percaya kepada Sang Hyang Widhi, Roh leluhur,
Karma Pala, Samskara, dan Moksa. Dalam keyakinan Hindu roh leluhur
(orang mati) harus dihormati karena bisa menjadi dewa terdekat dari
manusia [Kitab Weda Smerti Hal. 99 No. 192]. Selain itu dikenal juga
dalam Hindu adanya Samskara (menitis/reinkarnasi).
Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yang
berbunyi : “Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama,
ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu.
Dalam buku media Hindu yang berjudul : “Nilai-nilai Hindu dalam budaya
Jawa, serpihan yang tertinggal” karya : Ida Bedande Adi Suripto, ia
mengatakan : “Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang
Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, jelas adalah ajaran Hindu”.
Telah jelas bagi kita pada awalnya ajaran ini berasal dari agama Hindu,
selanjutnya umat islam mulai memasukkan ajaran-ajaran islam dicampur
kedalam ritual ini. Disusunlah rangkaian wirid-wirid dan doa-doa serta
pembacaan Surat Yasin kepada si mayit dan dipadukan dengan ritual-ritual
selamatan pada hari ke 7, 40, 100, dan 1000 yang tidak pernah diajarkan
oleh Nabi dan para sahabatnya. Apakah mencampur-campur ajaran seperti
ini diperbolehkan??
Iya, campur mencampur ajaran ini tanpa sadar sudah diajarkan dan menjadi
keyakinan nenek moyang kita dulu yang ternyata sebagian dari kaum
muslimin pun telah mewarisinya dan gigih mempertahankannya.
Lalu apakah kita lebih memegang perkataan nenek moyang kita daripada
apa-apa yang di turunkan Allah kepada RasulNya?
Allah berfirman :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ
نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ
لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ
”Dan apabila dikatakan kepada mereka :”Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah”. Mereka menjawab :”(Tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami”. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka
itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al
Baqoroh ayat 170)
Allah berfirman :
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu mencampuradukkan Kebenaran dengan Kebatilan dan
janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya” (QS
Al Baqarah 42)
Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh kita untuk tidak boleh
mencampuradukkan ajaran agama islam (kebenaran) dengan ajaran agama
Hindu (kebatilan) tetapi kita malah ikut perkataan manusia bahwa
mencampuradukkan agama itu boleh, Apa manusia itu lebih pintar dari
Allah???
Selanjutnya Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.(QS. Albaqoroh : 208).
Allah menyuruh kita dalam berislam MENYELURUH, tidak setengah-setengah…
TIDA
K SETENGAH HINDU…SETENGAH ISLAM…
TAHLILAN / SELAMATAN KEMATIAN
menurut Syekh Nawawi, Syekh Nawawi al-Bantani , Syekh Arsyad al-Banjary
dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar
pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap
buruknya selamatan kematian itu . “ Shadaqah untuk mayit , apabila
sesuai dengan tuntunan syara ’ adalah dianjurkan , namun tidak boleh
dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari lainnya , sementara
menurut Syaikh Yusuf , telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang
yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari
ketiga dari kematiannya , atau hari ke tujuh , atau ke duapuluh , atau
ke empatpuluh , atau ke seratus dan sesudah nya hingga di biasakan tiap
tahun dari kematian nya , padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian
pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi
orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut
al-wahsyah), bahkan haram hukum hukumnya biayanya berasal dari harta
anak yatim ”. (an-Nawawy al-Bantani , Nihayah al-Zein fi Irsyad
al-Mubtadi’ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281) . Pernyataan senada juga
diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien
(Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam
Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50)
TAHLILAN DALAM DIALOG SUNANAN AMPEL DENGAN SUNAN KALIJOGO
Berikut adalah dokumen yang bisa di pertanggung jawabkan kebenarannya
sehubungan dengan kisah-kisah Walisongo ; HET BOOK VAN BONANG [1] buku
ini ada di perpustakaan Heiden Belanda , yang menjadi salah satu dokumen
langka dari jaman Walisongo . Kalau tidak dibawa Belanda , mungkin
dokumen yang amat penting itu sudah lenyap . Buku ini ditulis oleh Sunan
Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran- ajaran Islam . Dalam
naskah kuno itu diantara nya menceritakan tentang Sunan Ampel
memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan . ”
Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk BIDA’H ” . Sunan
Kalijogo menjawab : “ Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam
telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya
tahlilan itu ”. Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H .
Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga
mengupas panjang lebar mengenai masalah ini . Dimana Sunan Kalijogo ,
Sunan Bonang , Sunan Kudus , Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum
abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel ,
Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan) . Sunan Kalijogo mengusulkan
agar adat istiadat lama seperti selamatan , bersaji , wayang dan gamelan
dimasuki rasa keislaman . Sunan Ampel berpandangan lain : “ Apakah
tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan
upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama
Islam ? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi BID’AH ? Sunan
kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari
ada yang menyempurnakannya (hal 41, 64) . Sunan Ampel , Sunan Bonang ,
Sunan Drajat , Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat
tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni , baik tentang
aqidah maupun ibadah . Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk
singkretisme / mencampurkan , memadukan ajaran Hindu dan Budha dngn
Islam . Tetapi sebaliknya Sunan Kudus , Sunan Muria dan Sunan Kalijaga
mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan
ajaran Islam . Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita ,
seperti sekatenan , ruwatan , shalawatan , tahlilan , upacara tujuh
bulanan dll . [ Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri
Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia ] , hal . 22-23, Penerbit
PT. Bina Ilmu . NASEHAT SUNAN BONANG ; Salah satu catatan menarik yang
terdapat dalam dokumen “ Het Book van Mbonang ” itu adalah peringatan
dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu
dalam suasana cinta kasih , dan mencegah diri dari kesesatan dan BID’AH .
Bunyinya sebagai berikut : “ Ee..mitraningsun ! Karana sira iki
apapasihana sami- saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan
anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“. Artinya : “ Wahai saudaraku !
Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling
mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu . Kalian semua hendaklah
mencegah dari perbuatan sesat dan BIDA’H .
[1] Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai
dokumen asli dan valid , yang tersimpan di Museum Leiden , Belanda .
Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti .
Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816 , dan Thesis Dr. Jgh
Gunning tahun 1881 , Dr. Da Rinkers tahun 1910 , dan Dr. Pj Zoetmulder
Sj , tahun 1935 .
TAHLILAN / SELAMATAN KEMATIAN MENURUT HASIL MUKTAMAR KE-1
Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/ 21 Oktober
1926 Mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa
selamatan kematian adalah bid’ah yang hina , Namun Nahdliyin generasi
berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan
melebihi) rukun Islam .. Sekalipun seseorang telah melakukan
kewajiban-kewajiban agama , namun tidak melakukan tahlilan , akan
dianggap tercela sekali . Di majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh
NU pada tahun 30-an , menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang
dilansir oleh kitab al- Aqrimany disebutkan : “al- Khara’ithy mendapat
keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata : ” Penghidangan
makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang- orang
jahiliyah “. kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap
sunnah , dan meninggalkannya berarti bid’ah , maka telah terbalik suatu
urusan dan telah berubah suatu kebiasaan ” . (al- Aqrimany dalam
al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No.
18, hal . 286) . Dan para ulama berkata : “ Tidak pantas orang Islam
mengikuti kebiasaan orang Kafir , oleh karena itu setiap orang
seharusnya melarang keluarganya dari menghadiri acara semacam itu ”.
(al- Aqrimany hal 315 dalam al- Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) masih di di majalah al-Mawa’idz
yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an itu , bahwa mengadakan
perjamuan di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal :
1 . Membebani keluarga mayit
walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan , namun apabila sudah
menjadi kebiasaan , maka keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak
menyuguhkan makanan .
2 . Merepotkan keluarga mayit
sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai , ditambah pula bebannya
.
3 . Bertolak belakang dengan hadits
Menurut hadits ,justeru kita (tetangga) yang harus mengirimkan makanan
kepada keluarga mayit yang sedang berduka cita , bukan sebaliknya .”
Bila diantara saudara kita menghadapi musibah kematian , hendaklah sanak
saudara menjadi penghibur dan pengat kesabaran , sebagaimana Rasulullah
memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena
musibah tersebut , dalam hadits : “ Kirimkanlah makanan oleh kalian
kepada keluarga Ja’far , karena mereka sedang tertimpa masalah yang
menyesakkan ”. (HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195) , al-Baihaqy
(Sunan al-Kubra, 4/61) , al- Daruquthny (Sunan al- Daruquthny, 2/78) ,
al- Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323) , al- Hakim (al- Mustadrak,
1/527) , dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah , 1/514) .
(al-Mawa’idz angrodjong Nahdlatoel‘Oelama Tasikmalaya , hal 200)
PANDANAGAN PARA SAHABAT TERHADAP KUMPUL-KUMPUL ORANG KEMATIAN
Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata : ”Kami (yakni para
Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami para
Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan
makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.” Hadits
ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang
shahih.
Dan anniyahah/ meratap ini adalah perbuatan jahiliyyah yang dilarang
oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam;
Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu.
bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada dua perkara
yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua duanya merupakan bentuk
kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi orang mati”.
FATWA-FATWA ULAMA’ 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN
I. MADZHAB HANAFI
1 – HASYIYAH IBNU ABIDIEN
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena
hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen
musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad
dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat
Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap
kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan
oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam kitab al-
Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama,
ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin,
Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr,
1386) juz II, hal 240)
2 – AL-THAHTHAWY
Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al-
Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA,
KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin
Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah
al-Baby al- Halaby, 1318), juz I hal 409).
3 – IBN ABDUL WAHID SIEWASY
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena
hidangan
hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah.
hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad
dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari
sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn
Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II,
hal 142)
II.MADZHAB MALIKI
1 – AL-DASUQY
Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan
makanan hukumnya bid’ah yang
dimakruhkan. (Muhammad al- Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh
al-Kabir (Beirut:Dar al-Fikr) juz I, hal 419)
2 – ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan
mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena
tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan
momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun
apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian
dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit
diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin
terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan
masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh
Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)
III . MADZHAB SYAFI’I
1 – AL-SYARBINY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan.
(Muhammad al-Khathib al- Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar
al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan
makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya
bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al- Khathib al-Syarbiny,
al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)
2 – AL-QALYUBY Guru kita al-Ramly telah berkata:
sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy),
sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak
disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat
berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum
maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby
(Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)
3 – AN-NAWAWY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal
tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an- Nawawy,
al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186)
4- IBNU HAJAR ALHAETAMY
Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan
oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya
bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih
dari sahabat Jarir bin Abdullah.(Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al- Muhtaj
(Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)
5 – AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI
Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan
oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya
bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut,
berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah.
(al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at- Thalibien (Beirut:
Dar al-Fikr) juz II, hal 146)
6 – AL-AQRIMANY
Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga,
keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan
sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit,
hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah
yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan
bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian
oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang
muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang
kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri
acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz;
Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)
7 – RAUDLAH AL-THALIBIEN
penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan
masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan
perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang
tidak disunnahkan. (Raudlah al- Thalibien (Beirut: al- Maktab al-
Islamy, 1405) juz II, hal 145)
IV . MADZHAB HAMBALI
1 – IBN QUDAMA AL-MUQADDASY
Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh
keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah
menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah
beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh
orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar,
kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga
mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata
Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut
dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat
terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap,
sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang
diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al- Muqaddasy, al-Mughny
(Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)
2 – ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASY
Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk
(menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan
bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh,
karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula
makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga
mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan
ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al- Muqaddasy, al-Furu’ wa
Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)
3 – ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY
Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari
niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat,
(tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat
(terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al- Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al-
Miqna’ (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1400) juz II, hal 283)
4 – MANSHUR BIN IDRIS AL- BAHUTY
Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada
para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat
Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al- Marbi’ (Riyadl:
Maktabah al- Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)
5 – KASYF AL-QANA’
Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan
keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang
jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan
dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang
sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena
di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya
jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak
memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula
dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan
tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya
terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat
ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan
penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz
II, hal 149)
6 – IBN TAIMIYAH
Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan
tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya
perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah:
“Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga
mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari
niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi
al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)
SELAMATAN KEMATIAN DALAM KITAB FATAWA
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan : “ Beliau ditanya semoga
Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita . Bagaimanakah tentang hewan
yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju
kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja , dan TENTANG
YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN
UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN , DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN
PADA HARI KETUJUH , serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan
pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri
proses ta’ziyah jenazah . Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya
sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang
tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa
diacuhkan . Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak
bertujuaan (pahala) akhirat , maka bagaimana hukumnya , boleh atau
tidak ? Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang
ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai
haram (alias makruh) , kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan
pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau
memuji secara berlebihan (rastsa’). Dalam melakukan prosesi tersebut ,
ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu
orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari
wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh , dst- penj ) , agar mereka
tidak menodai kehormatan dirinya , gara-gara ia tidak mau melakukan
prosesi penghormatan di atas .
kepercayaan Animisme mengenai orang mati menurut Prof Hamka
Menurut kepercayaan datuk nenek-moyang kita zaman purbakala, apabila
seorang mati, datanglah roh orang yang mati itu ke dunia kembali, lalu
dia mengganggu ke sana ke mari , sehingga ada orang yang sakit . Oleh
sebab itu di anjurkan supaya kalau orang telah mati , hendaklah keluarga
berkumpul- kumpul beramai-ramai di rumah orang yang kematian itu sejak
hari pertama, hari ketiga, hari keempat sampai hari ketujuh . Kemudian
dia akan datang lagi mengganggu pada hari yang ke empat puluh. Setelah
itu dia akan datang lagi mengganggu pada hari yang ke seratus, dan
paling akhir sekali dia akan datang kembali pada hari yang ke seribu.
Sebab itu hendaklah orang beramai-ramai di rumah itu di hari-hari
tersebut. Sebab roh itu takut datang kalau ada ramai-ramai ! Maka
setelah nenek-moyang kita memeluk Agama Islam belumlah hilang sama
sekali kepercayaan animisme itu, sehingga berkumpul-kumpullah orang di
rumah orang kematian di hari-hari yang tersebut itu, sebagai warisan
zaman purbakala. Cuma diganti mantra-mantra cara lama dengan membaca
al-Qur’an, terutama Surat Yasin .
H Rusydi, Afif (editor), Hamka Membahas Soal-Soal Islam, Pustaka
Panjimas, Jakarta, cetakan IV, 1985,
halaman 394.
IMAM SYAFE’I MEMBENCI ALM’ATAM
Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata ; . . dan aku
membenci al- ma’tam , yaitu berkumpul (di tempat keluarga mayat)
walaupun tanpa tangisan , karena hal tersebut hanya akan menimbulkan
bertambah nya kesedihan dan membutuhkan biaya , padahal beban kesedihan
masih melekat . (al-Umm juz I,hal 279) Ibnu Taimiyah ketika menjawab
pertanyaan tentang hukum dari al-Ma’tam : “ Tidak diterima keterangan
mengenai perbuatan tersebut apakah itu hadits shahih dari Nabi , tidak
pula dari sahabat-sahabatnya , dan tidak ada seorangpun dari imam-imam
muslimin serta dari imam madzhab yang empat (Imam Hanafy, Imam Maliki,
Imam Syafi’i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam yang lainnya , demikian
pula tidak terdapat keterangan dari ahli kitab yang dapat dipakai
pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat, tabi’ien, baik shahih maupun
dlaif, serta tidak terdapat baik dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan
ataupun musnad- musnad, serta tidak diketahui pula satupun dalam hadits-
hadits dari zaman nabi dan sahabat .
BUNG KARNO DAN TALILAN
Kepada A. Hassan, Soekarno juga bercerita mengenai ibu mertuanya yang
telah meninggal dan kritik yang dialamatkan kepadanya karena ia dan
keluarga tidak mengadakan acara tahlilan untuk almarhumah ibu mertuanya.
Dalam surat tertanggal 14 Desember 1935, Soekarno menulis:
“Kaum kolot di Endeh, di bawah ajaran beberapa orang Hadaramaut, belum
tenteram juga membicarakan halnyatidak bikin ‘selamatan tahlil’ buat
saya punya ibu mertua yang baru wafat itu, mereka berkata bahwa saya
tidak ada kasihan dan cinta pada ibu mertua itu. Biarlah! Mereka tak
tahu-menahu, bahwa saya dan saya punya istri, sedikitnya lima kali satu
hari, memohonkan ampunan bagi ibu mertua itu kepada Allah. Moga-moga ibu
mertua diampuni dosanya dan diterima iman Islamnya. Moga-moga Allah
melimpahkan Rahmat-Nya dan Berkat-Nya…”
Berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya adalah sama
dengan meratap
Berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya adalah sama
dengan meratap , Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah .
Dari Thalhah : “Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata :
Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat ? Jarir menjawab : Tidak, Umar
berkata : Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di
rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ? Jarir menjawab : Ya ,
Umar berkata : Hal itu sama dengan meratap ”. (al- Mashnaf ibn Aby
Syaibah (Riyad : Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) .
Dari Sa’ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary , kemudian dikeluarkan
pula oleh Abd al-Razaq : “ Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah
niyahah , hidangan dari keluarga mayit , dan menginapnya para wanita di
rumah keluarga mayit ”. (al- Mashnaf Abd al-Razaq al- Shan’any (Beirut:
al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550 .
Dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui
sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa’ied bin Jabbier) Dari Ibn
Aby Syaibah al-Kufy : “ Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa dari
Tsabit dari Qais , beliau berkata : saya melihat Umar bin Abdul Aziz
melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan , kemudian berkata :
kalian akan mendapat bencana dan akan merugi ”. Dari Ibn Aby Syaibah
al-Kufy : “ Telah berbicara kepada kami , Waki’ bin Jarrah dari Sufyan
dari Hilal bin Khabab al Bukhtary , beliau berkata : Makanan yang
dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari perbuatan
Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah ”.
1. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu,
pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318).
“Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun
tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan
memperbaharui kesedihan”[1]
Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil atau
ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas
mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru
berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan
disini sebagai Tahlilan ?”
2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman
496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At
Turki ) :
“Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu
hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas
musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka [2] dan
menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah.
Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar.
Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kamu diratapi ?” Jawab Jarir, ” Tidak
!” Umar bertanya lagi, ” Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan
mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, ” Ya !” Berkata Umar, ” Itulah
ratapan !”
3. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, di kitabnya :
Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) :
“Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad)
atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang
mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah.
Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram,
sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di
rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram.
Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya
berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta’ziyah /melayat
sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini.
Telah berkata An Nawawi rahimahullah : Adapun duduk-duduk (dirumah ahli
mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i
dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas
dibencinya (perbuatan tersebut)……..
Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, ” Telah berkata pengarang kitab Al
Muhadzdzab : “Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit ) dengan alasan
untuk ta’ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats
(hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats
adalah ” Bid’ah.”
Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas
hadits Jarir menegaskan : “Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh
kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kupmul (di tempat ahli
mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan
makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan
harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak
maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang
memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan
hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi
petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari
para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun
juga dari Imam-imam Agama (kita).
Kita memohon kepada Allah keselamatan !”
4. Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab (5/319-320)
telah menjelaskan tentang bid’ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan
dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy
-Syaamil dan lain-lain Ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan
hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Dan hal inipun beliau
tegaskan di kitab beliau “Raudlotuth Tholibin (2/145).
5. Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab yang
kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu’ Syarah
Muhadzdzab : “Tidak disukai /dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit)
dengan alasan untuk Ta’ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu
muhdats sedangkan muhdats adalah ” Bid’ah “.
Dan Imam Nawawi menyetujuinya bahwa perbatan tersebut bid’ah. [Baca ;
Al-Majmu’ syarah muhadzdzab juz. 5 halaman 305-306]
6. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir (2/142)
dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah ”
Bid’ah Yang Jelek”. Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau
katakan shahih.
7. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528)
menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah ahli mayit) dengan alasan
untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang
tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
8. Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan
bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah.
9. Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul Islamiy” (2/549) : “Adapaun ahli
mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal tersebut dibenci dan
Bid’ah yang tidak ada asalnya. Karena akan menambah musibah mereka dan
menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai (tasyabbuh)
perbuatan orang-orang jahiliyyah”.
10. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau
menjawab : ” Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah
mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.”
[Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139]
11. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ” Disukai membuatkan makanan
untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak
disukai mereka membuat makanan untuk para penta’ziyah. Demikian menurut
madzhab Ahmad dan lain-lain.” [Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93]
12. Berkata Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy
Syafi’i (I/79), ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit.”
KESIMPULAN.
Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah
BID’AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama’
termasuk didalamnya imam empat.
Kedua : Akan bertambah bid’ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan
untuk para penta’ziyah.
Ketiga : Akan lebih bertambah lagi bid’ahnya apabila disitu diadakan
tahlilan pada hari pertama dan seterusnya.
Keempat : Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum kerabat /sanak famili dan para
jiran/tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat
mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ja’far bin Abi Thalib
wafat.
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far ! Karena sesungguhnya telah
datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni musibah
kematian).” [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'i ( I/317), Abu
Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)]
Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita seperti Syafi’iy dan
lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami turunkan
di atas).
Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak
familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan
malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena
sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi)…. “ [Al-Um
I/317]
Kemudian beliau membawakan hadits Ja’far di atas.
[Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat
Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy,
Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat
Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M]
_______
Footnote
[1]. Ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi’i menerangkan menurut
kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau
tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi’i
diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah.
[2]. Perkataan ini seperti di atas yaitu menuruti kebiasaannya selamatan
kematian itu menyusahkan dan menyibukkan. Tidak berarti boleh apabila
tidak menyusahkan dan tidak menyibukkan ! Ambillah connoth firman Allah
did alam surat An-Nur ayat 33 :”Janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini
kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi”. Apakah boleh
kita menyuruh budak perempuan kita untuk melacur apabila mereka
menginginkannya?! Tentu tidak!
wallahu a'lam semoga bermamfaat bagi kita semua amin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar