JAUHILAH SIFAT-SIFAT MUNAFIQ
Bismillaahirrahmaanirrahiimi
Assalamualaikum Warahmatullai Wabarkaatuh
#Oleh: Abu Samah Al-Hafidz
Di awal surat
Al-Baqarah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tiga golongan manusia:
1. Kaum mukminin
2. Orang-orang kafir
3. Orang-orang munafik
Allah Subhanahu wa
Ta’ala membeberkan kepada kaum mukminin di dalam ayat-ayat tersebut tentang
kebusukan hati orang-orang munafik dan permusuhan mereka kepada kaum mukminin.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat kerusakan namun
mengklaim sebagai orang yang melakukan perbaikan:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ. أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ
وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka,
“Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi.” Maka mereka berkata, “Kami
hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ketahuilah, mereka adalah umat
yang melakukan kerusakan namun mereka tidak mengetahuinya. (Al-Baqarah:
11-12)
Mereka adalah orang-orang dungu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ ءَامِنُوا كَمَا ءَامَنَ
النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا ءَامَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ
السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka,
“Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.” Mereka menjawab,
“Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?”
Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh (dungu), tetapi mereka
tidak tahu. (Al-Baqarah: 13)
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memperolok mereka:
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي
طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Allah akan (membalas) olok-olokan
mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (Al-Baqarah: 15)
Di antara bentuk balasan dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah ketika di hari kiamat nanti, sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ
جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ هُوَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ
لِلَّذِينَ ءَامَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا
وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ
بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ.
يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ
أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى
جَاءَ أَمْرُ اللهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
(Yaitu) pada hari ketika kamu
melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di
hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada meraka): “Pada hari ini
ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.”
Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada
orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian
dari cahayamu.” Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan
carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara mereka dinding yang
mempunyai pintu, di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari
situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin)
seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kalian?” Mereka
menjawab: “Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri dan menunggu
(kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong
sehingga datanglah ketetapan Allah, dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh
(setan) yang amat penipu.” (Al-Hadid: 12-14)
Di dalam ayat-ayat lainnya, Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang munafikin dengan ancaman yang keras.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللهَ
وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ
الْعَظِيمُ
“Tidakkah mereka (orang-orang
munafik) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya maka
bagi dia neraka jahanam. Dia kekal di dalamnya dan itu adalah kehinaan yang
besar.” (At-Taubah: 63)
Di dalam ayat yang lain:
وَعَدَ اللهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ
وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا
“Allah mengancam orang-orang munafik
yang laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir dengan neraka jahanam.
Mereka kekal di dalamnya.” (At-Taubah:
68)
Kelak mereka akan ada di kerak
neraka yang terbawah:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ
مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik
itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu
sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.”
(An-Nisa: 145)
Banyak lagi nash dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang menunjukkan keburukan orang-orang munafik dan ancaman bagi
mereka. Sehingga seyogianya bagi seorang muslim untuk berhati-hati dari mereka
dan juga menjauhi sifat-sifat mereka.
Pengertian nifaq (kemunafikan)
Kemunafikan
adalah menyembunyikan kebatilan dan
menampakkan kebaikan. Kemunafikan adalah penyakit hati yang berbahaya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Dalam hati mereka ada penyakit,
lalu ditambah Allah penyakitnya. Dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan
mereka berdusta.” (Al-Baqarah: 10)
Jenis nifaq (kemunafikan)
Ada dua jenis, yakni nifaq akbar (kemunafikan besar)
dan nifaq asghar (kemunafikan kecil). Kemunafikan
akbar yang disebut juga kemunafikan i’tiqadi (keyakinan) adalah menyembunyikan
kekufuran dan menampakkan keislaman. Kemunafikan ini mengeluarkan pelakunya
dari Islam.
Kemunafikan
asghar yang disebut pula kemunafikan amali (amalan) adalah menampakkan lahiriah
yang baik dan menyembunyikan kebalikannya. Pokok kemunafikan asghar kembali
kepada lima perkara: Sering berdusta ketika berbicara, sering tidak menepati
janji, jika berselisih melampaui batas, jika melakukan perjanjian melanggarnya,
dan sering khianat jika diberi amanah.
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya,
kemunafikan asghar semuanya kembali kepada berbedanya seseorang ketika sedang
sendiri dan ketika terlihat (bersama) orang lain, sebagaimana dikatakan oleh
Hasan Al-Bashri rahimahullahu.” (Lihat
Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 747)
Perbedaan kemunafikan kecil dan kemunafikan besar
Di antara perbedaan antara
keduanya adalah:
1. Kemunafikan akbar pelakunya
keluar dari Islam, adapun kemunafikan asghar tidak mengeluarkan dari Islam.
2. Kemunafikan akbar tidak mungkin
bersatu dengan keimanan, adapun kemunafikan asghar mungkin ada pada seorang
yang beriman.
3. Kemunafikan akbar pelakunya kekal
di neraka, sedangkan kemunafikan asghar pelakunya tidak kekal di neraka. (Lihat Kitabut Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Bahaya kemunafikan asghar
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata:
“Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat
adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas
maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati, demikian juga
orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut
darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Orang beriman senantiasa khawatir
terjatuh ke dalam kemunafikan
Ibnu Mulaikah rahimahullahu berkata:
“Aku mendapati tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, semuanya mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya.”
Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu sampai bertanya kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, apakah dirinya
termasuk yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
orang munafik.
Sebagian ulama menyatakan: “Tidak
ada yang takut dari kemunafikan kecuali mukmin, dan tidak ada yang merasa aman darinya
kecuali munafik.” (dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dari Al-Hasan
Al-Bashri rahimahullahu)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya,
“Apa pendapatmu tentang orang yang mengkhawatirkan atas dirinya
kemunafikan?” Beliau menjawab, “Siapa yang merasa dirinya aman dari
kemunafikan?” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Jauhi sifat-sifat munafik
Kami akan sebutkan beberapa sifat kemunafikan amali yang
telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena
kemunafikan amali inilah yang kadang dianggap remeh oleh sebagian kaum
muslimin. Padahal kemunafikan amali sangatlah
fatal akibatnya jika terus dilakukan seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Rajab rahimahullahu: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar,
sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang
terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika
menjelang mati. Demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan
asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ؛ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ،،
وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik ada tiga: Jika
bicara berdusta, jika diberi amanah berkhianat, dan jika berjanji
menyelisihinya.”(HR.Muslim).
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu
‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا
خَالِصًا، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلةٌ مِنْهُنَّ فِيهِ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ
النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ
أَخْلَفَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
“Empat perkara, barangsiapa yang
ada pada dirinya keempat perkara tersebut maka ia munafik tulen. Jika ada
padanya satu di antara perangai tersebut berarti ada pada dirinya satu perangai
kemunafikan sampai meninggalkannya: Yaitu seseorang jika bicara berdusta, jika
membuat janji tidak menepatinya, jika berselisih melampui batas, dan jika
melakukan perjanjian mengkhianatinya.” (HR. Muslim).
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa
di antara perangai kemunafikan adalah:
1. Berdusta ketika
bicara
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu
berkata: “Inti kemunafikan yang dibangun di atasnya kemunafikan adalah
dusta.”
2. Mengingkari janji
3. Mengkhianati amanah
4. Membatalkan
perjanjian secara sepihak
Perjanjian yang dimaksud
dalam hadits ini ada dua:
Pertama: Perjanjian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala
untuk senantiasa beribadah kepada-Nya.
Kedua: Perjanjian dengan hamba-hamba Allah Subhanahu
wa Ta’ala, dan ini mencakup banyak perkara.
Oleh karena itu, seorang mukmin seharusnya senantiasa
berusaha memenuhi perjanjiannya, terlebih lagi perjanjiannya dengan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا
اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا
بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu
ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka
di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang
menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23)
Lain
halnya dengan orang-orang kafir dan munafik. Mereka adalah orang-orang yang
suka membatalkan secara sepihak serta tidak menepati perjanjian. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللهِ مِنْ بَعْدِ
مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي
الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang melanggar
perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang
diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya serta membuat
kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُونَ
عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لَا يَتَّقُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang kamu telah
mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya
setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 56)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللهَ لَئِنْ ءَاتَانَا
مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ. فَلَمَّا
ءَاتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ. فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ
يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dan di antara mereka ada orang yang
telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan
sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah
kami termasuk orang-orang yang shalih.” Maka setelah Allah memberikan kepada
mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan
berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi
(kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada
waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah
Subhanahu wa Ta’ala apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena
mereka selalu berdusta. (At-Taubah: 75-77)
Wajib hukumnya memenuhi perjanjian
dengan hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ibnu Rajab rahimahullahu menyatakan:
“Mengingkari (mengkhianati) perjanjian adalah haram dalam semua perjanjian
seorang muslim dengan yang lainnya walaupun dengan seorang kafir mu’ahad. Oleh
karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ
الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa membunuh kafir
mu’ahad tidak akan mencium bau surga padahal wanginya surga tercium dari jarak
40 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3166) [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal
Hikam hal. 744]
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu
juga menyatakan: “Adapun perjanjian di antara kaum muslimin maka keharusan
untuk memenuhinya lebih kuat lagi, dan membatalkannya lebih besar dosanya. Yang
paling besar adalah membatalkan perjanjian taat kepada pemimpin muslimin yang
(kita) telah berbai’at kepadanya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ
وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ:
…وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ
مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ…
Tiga golongan yang tidak akan diajak
bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat nanti, tidak akan
disucikan, dan mereka akan mendapatkan azab yang pedih –di antaranya: “Seorang
yang membai’at pemimpinnya hanya karena dunia, jika pemimpinnya memberi apa
yang dia mau dia penuhi perjanjiannya dan jika tidak maka dia pun tidak
menepati perjanjiannya.” (HR.
Al-Bukhari no. 2672, Muslim no. 108)
Berhati-hatilah dari berbagai bentuk kemunafikan
Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Sebagian orang
mengira kemunafikan hanyalah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam saja, tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang salah. Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu berkata: ‘Kemunafikan pada zaman ini lebih dahsyat dari kemunafikan di
zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana
(bisa dikatakan demikian)?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan kemunafikan mereka.
Adapun sekarang, mereka (berani) menampakkan kemunafikan mereka’.”
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali berkata: “Kemunafikan sekarang ini banyak terjadi pada pergerakan
politik, sebagaimana telah dipersaksikan oleh sebagian mereka. Sebagian mereka
menyatakan: ‘Aku tidak pernah tahu ada politikus yang tidak berdusta.’ Sebagian
bahkan menyatakan: ‘Sesungguhnya politik adalah kemunafikan.’ Sehingga
kebanyakan politikus terkena kemunafikan amali dalam partai-partai politik.”
Beliau juga menyatakan: “Di antara
tanda kemunafikan amali adalah ber-wala’ (berloyalitas) dengan ahlul bid’ah serta
membuat manhaj-manhaj berbahaya dalam rangka melawan dan meruntuhkan manhaj
Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Syarh
Ushulus Sunnah)
Catatan...
Saudaraku dan saudariku sekalian…
Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan agar kita bersikap keras dan menjauhi orang-orang munafik serta
menjadikannya sebagai musuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ
وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Wahai Nabi, jihadilah
orang-orang kafir dan munafikin serta bersikap keraslah kepada mereka.”
(At-Tahrim: 9)
Dalam ayat yang lain:
هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ
“Mereka (orang-orang munafik)
adalah musuh maka hati-hatilah dari mereka…” (Al-Munafiqun: 4)
Maka, sepatutnya seorang muslim
menjauhkan diri dari amalan dan sifat-sifat musuh mereka, serta menjauhkan diri
dari semua perkara yang akan menjatuhkan dirinya ke dalam kemunafikan, seperti
politik praktis dan berbagai jenis kebid’ahan. Nas’alullah al-’afwa wal afiyah. “Aamiin”.
“Semoga
tulisan ini bermanfaat bagi k,ita semua Aamiin”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar